
Oleh : Suhana
Perikanan Indonesia memiliki potensi yang luar biasa, serta beragam komoditas bernilai tinggi untuk konsumsi dan ekspor. Namun potensi besar tersebut belum tentu menjadi sumber pertumbuhan, kalau tidak dikelola dengan benar. Salah satu indikator penting yang merekam denyut sektor ini adalah Saldo Bersih Tertimbang (SBT), baik dari sisi kegiatan usaha maupun tenaga kerja.
Artikel singkat ini menelaah data SBT sektor perikanan dari tahun 2000 hingga 2025 untuk mengungkapkan bagaimana aktivitas usaha dan serapan tenaga kerja saling memengaruhi, serta mengapa dua indikator ini menjadi refleksi dari stagnasi yang mengkhawatirkan.
Apa Itu SBT dan Mengapa Penting?
Saldo Bersih Tertimbang (SBT) adalah indikator persepsi pelaku usaha yang digunakan Bank Indonesia dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU). SBT Kegiatan Usaha mengukur perkembangan operasional perusahaan (produksi, penjualan, pesanan). sementara itu SBT Tenaga Kerja mencerminkan perubahan jumlah pekerja di sektor terkait. Angka positif menunjukkan ekspansi, sedangkan negatif menunjukkan kontraksi. Dalam konteks perikanan—sektor padat karya yang rentan cuaca dan kebijakan—data ini menjadi kompas penting untuk membaca arah ekonomi biru Indonesia.
Bank Indonesia selama ini secara rutin melakukan survey kegiatan dunia usaha, termasuk usaha di sektor perikanan. Publikasi terbaru adalah hasil survey kegiatan dunia usaha triwulan 2 2025 yang dpibulikasikan pada laman www.bi.go.id.
Tren Historis Kegiatan Usaha
Sepanjang 2000–2025, data SBT kegiatan usaha sektor perikanan menunjukkan fluktuasi ekstrem. Hasil survey BI sepanjang tahun 2000 – 2025 menunjukan bahwa titik tertinggi terjadi pada triwulan 2 (Q2) 2004 yaitu sebesar +0.96%, saat ekspor kuat dan kebijakan relatif longgar. Sementara titik terendah terjadi pada triwulan 2 (Q2) 2002 (–1.13%), terpengaruh cuaca buruk dan lemahnya infrastruktur.

Sementara itu pada tahun 2023 menjadi titik balik positif setelah pandemic, dimana seluruh triwulan mencatatkan SBT positif (rata-rata +0.27%). Namun momentum itu tidak berlanjut di 2024 dan 2025 (triwulan 1 dan 2), di mana terjadi perlambatan, yaitu pada triwulan 1 dan 2 (Q1&Q2) 2025 hanya mencapai +0.06% dan +0.04%. Artinya, pelaku usaha di sektor perikanan kembali menahan aktivitas produksinya. Penyebabnya mencakup, penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang belum siap, kenaikan biaya operasional, penurunan permintaan ekspor, dan cuaca ekstrem yang membatasi penangkapan.
Tren Tenaga Kerja
SBT tenaga kerja sektor perikanan menunjukkan kecenderungan yang mirip, namun lebih sensitif dan cenderung negatif (Gambar 2). Pada 2025, sektor perikanan mengalami penurunan tenaga kerja dua kuartal berturut-turut, yaitu Q1 sebesar–0.11%, dan Q2 sebesar–0.08%. Penyebabnya sangat berkaitan dengan melemahnya kegiatan usaha, yaitu nelayan tidak melaut karena bahan bakar mahal dan gelombang tinggi, unit pengolahan menurunkan volume produksi, dan eksportir tidak mengambil pasokan karena permintaan rendah.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa kondisi SBT kegiatan usaha sangat berkorelasi kuat dengan SBT tenaga kerja, ketika SBT kegiatan usaha positif, tenaga kerja cenderung meningkat (meski tidak selalu signifikan). Namun ketika SBT usaha negatif, SBT tenaga kerja hampir selalu ikut turun. Misalnya pada triwulan 4 (Q4) 2013 SBT kegiatan Usaha sebesar +0.53%, pada tahun tersebut tenaga kerja juga naik signifikan. Sementara pada triwulan 1 (Q1) 2025 SBT kebiatan Usaha mencapai –0.05%, akibatnya SBT tenaga kerja sebesar –0.11%.
Hal ini menandakan bahwa tenaga kerja perikanan sangat elastis terhadap siklus usaha, dan cenderung menjadi korban pertama saat produksi terganggu. Mengapa tenaga kerja sektor ini sangat rentan?. Hal ini disebabkan mayoritas nelayan dan buruh pengolahan tidak terikat kontrak tetap, banyak yang bekerja berbasis hasil tangkap (bagi hasil), dan tidak memiliki akses jaminan sosial atau perlindungan kerja.
Oleh karena itu, ketika usaha turun sedikit saja, pemutusan kerja atau pengurangan jam kerja langsung terjadi. Ini menciptakan ketidakpastian dan memperburuk kemiskinan musiman di pesisir.
Tahun 2025 menjadi tahun peringatan, meski stok ikan masih melimpah, regulasi dan biaya operasional membuat usaha enggan berekspansi. Ekspor perikanan semakin lesu, terlebih pada awal Agustus ini tarif bea masuk ke pasar USA naik dari rata-rata sebesar 3,3 % menjadi 19%, sementara pasar domestik belum siap menyerap hasil tangkap berlebih. Selain itu juga, pemerintah belum cepat respon dalam menyelaraskan regulasi dengan kesiapan nelayan dan pengusaha daerah. Akibatnya, tenaga kerja turun tanpa jaring pengaman.
Rekomendasi
Berdasarkan hal tersebut penting untuk diperhatian pemerintah, yaitu pertama, revisi kebijakan perikanan tangkap agar adaptif dengan kondisi pelaku usaha perikanan. Kedua, perluas distribusi BBM bersubsidi & logistik bagi nelayan kecil. Ketiga, buat skema jaminan sosial tenaga kerja perikanan informal. Keempat, dorong industrialisasi hasil tangkap untuk menciptakan pekerjaan stabil. Sementara itu bagi pelaku usaha perikanan perlu terus berupaya untuk diversifikasi ke produk olahan bernilai tinggi, manfaatkan digitalisasi untuk efisiensi distribusi dan pemasaran, dan bangun model usaha berbasis koperasi agar lebih resilien terhadap gejolak pasar.
Dus, data SBT dua indikator kunci—kegiatan usaha dan tenaga kerja—menunjukkan bahwa sektor perikanan Indonesia sedang berada di zona stagnasi. Tahun 2025 memperlihatkan bagaimana pelambatan usaha langsung berdampak pada penyerapan tenaga kerja, terutama di wilayah pesisir yang bergantung pada ekonomi laut. Ini bukan sekadar masalah produktivitas, melainkan soal keberlanjutan sosial dan ekonomi jutaan keluarga nelayan. Maka dari itu, kebijakan ke depan harus menyasar pemulihan usaha dan perlindungan pekerja secara bersamaan, agar laut yang kaya tidak hanya menjadi sumber ikan, tetapi juga sumber kesejahteraan berkelanjutan.
