Oleh : Suhana
Nilai Tukar Nelayan (NTN) dan Pembudidaya ikan (NTPi) pada triwulan 2 tahun 2021 meningkat sebesar 5,65% dan 3,00% dibandingkan triwulan 2 tahun 2020 (BPS 2021). Hal ini menunjukkan daya beli keluarga nelayan kecil dan pembudidaya ikan mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2020.

Pada triwulan 2 tahun 2020 NTN dan NTPi mengalami defisit, yaitu hanya mencapai 98,80 dan 99,55. Hal ini dampak dari penurunan permintaan ikan akibat pengetatan aktivitas masyarakat dalam upaya pencegahan penyebaran covid-19. Penurunan permintaan tersebut berdampak pada penurunan harga ikan di tingkat produsen, yaitu nelayan dan pembudidaya ikan.

Bahkan ditingkat lokal, volume dan nilai tangkapan ikan nelayan kecil telah menurun secara signifikan sejak pemerintah Indonesia membatasi perjalanan dan jarak sosial sebagai tanggapan terhadap pandemi COVID-19 (Campbell et al., 2021). Jumlah nelayan dan pedagang aktif di wilayah Sulawesi Tenggara terlihat menurun lebih dari 90% setelah diumumkannya pandemi Covid-19 oleh pemerintah. Namun demikian, meskipun harga rata-rata per kilogram ikan menurun setelah pandemi dimulai, para nelayan yang mampu mempertahankan penangkapan memiliki hasil tangkapan rata-rata yang lebih tinggi sehingga nilai tangkapan harian tetap terjaga. Perikanan bernilai tinggi yang biasanya memasuki rantai pasokan ekspor lebih banyak terkena dampak negatif dibandingkan dengan spesies bernilai rendah yang umumnya dijual ke pasar lokal (Campbell et al., 2021).
Mewaspadai PPKM Darurat Bagi Nelayan Kecil
Keputusan pemerintah untuk menerapkan kebijakan PPKM Darurat dalam periode 3-20 Juli 2021 perlu didukung oleh semua pihak. Dengan kebijakan ini diharapkan penyebaran Covid-19 dapat terus ditekan dan aktivitas masyarakat kembali berjalan baik.
Berkaca pada pengalaman kebijakan sebelumnya, diawal tahun 2020 lalu, dengan kebijakan pengetatan aktivitas masyarakat berdampak pada penurunan permintaan ikan dari nelayan dan pembudidaya ikan. Oleh sebab itu pemerintah dan pemerintah daerah perlu mengontrol tingkat penyerapan ikan hasil produksi ikan para nelayan dan pembudidaya ikan lokal. Hal ini dimaksudkan agar harga ikan di tingkat produsen (nelayan dan pembudidaya ikan) tidak mengalami penurunan signifikan seperti pada awal pandemi Covid-19 lalu.
Walaupun kebijakan PPKM Darurat hanya berlaku untuk wilayah di Pulau Jawa dan Bali, akan tetapi perannya saat ini sangat signifikan. Data BKIPM (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen ikan yang dilalulintaskan di dalam negeri ditujukan ke wilayah Pulau Jawa. Bahkan ikan-ikan dari wilayah Maluku dan Papua, lebih dari 80 % dikirim ke wilayah Pulau Jawa. Artinya ketika Pulau Jawa mengalami penurunan aktivitas, maka akan berdampak pada serapan ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya ikan wilayah lainnya di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut agar tidak mengulang kasus yang sama pada awal masa pandemic, dimana banyak ikan hasil tangkapan neayan dan pembudidaya ikan yang tidak terserap pasar, baik pasar domestik maupun ekspor, pemerintah perlu terus mendorong kebijakan untuk meningkatkan daya serap ikan-ikan hasil produksi para nelayan dan pembudidaya ikan nasional. Hal ini dimaksudkan agar beban biaya produksi para nelayan dan pembudidaya ikan tidak membengkak. Misalnya mempercepat implementasi sistem resi gudang untuk sektor perikanan, khususnya di daerah-daerah sentra perikanan. Sehingga ikan-ikan hasil produksi nelayan dan pembudidaya ikan bisa ditampung dulu di SRG dan dijual lagi ketika harga mulai kembali stabil. ***