Oleh : Suhana
( Sumber : https://money.kompas.com/read/2019/07/20/200542826/jokowi-g20-dan-menteri-pemberani )
Judul ini sengaja penulis pakai untuk menggambarkan tiga peristiwa penting agar Indonesia terbebas dari aktivitas kejahatan perikanan yang mengancam tercapainya Tujuan SDGs 2030. Terpilihnya kembali Jokowi dalam pemilu presiden 2019 menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat mengapresiasi langkah-langkah presiden dengan jajaran kabinetnya dalam lima tahun terakhir, termasuk dalam memberantas IUUF.
Pertemuan G20 yang berlangsung di Osaka Jepang (28-29 Juni2019) membawa harapan baru untuk masa depan ekonomi perikanan dunia, khususnya perikanan Indonesia. Kepala-kepala negara G20, termasuk Presiden Jokowi telah berkomitmen dalam memberantas praktek IUUF di negaranya masing-masing. Dalam dokumen “G20 Osaka Leaders’ Declaration” point 40 disebutkan bahwa “IUUF di banyak bagian dunia menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan sumberdaya laut, kami menyadari pentingnya menangani IUU fishing untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan sumber daya kelautan dan konservasi lingkungan laut termasuk keanekaragaman hayati, dan menegaskan kembali komitmen kami untuk mengakhiri IUU fishing”.
Pemberantasan praktek IUUF memerlukan keberanian dan ketegasan dari pemimpin negara, khususnya Presiden dan Menteri terkait. Oleh sebab itu dalam pidato Jokowi pada acara “Visi Indonesia” di Sentul beberapa hari lalu yang menegaskan bahwa jajaran kabinet jilid 2 akan diisi oleh menteri-menteri yang berani. Hal tersebut merupakan modal kuat bagi Kabinet Jokowi Jilid 2 agar tetap konsisten memberantas IUUF di seluruh perairan Indonesia.
Langkah presiden Jokowi dan Menteri Susi Pudjiastuti dalam memberantas IUUF saat ini sudah menunjukkan hasil yang sangat baik bagi permebangan ekonomi perikanan Indonesia. Namun demikian ketegasan dan keberanian memberantas IUUF tersebut perlu terus ditegakan secara konsisten. Mengingat sampai saat ini ancaman dari para pelaku IUUF masih sangat tinggi.
Ifesinachi Okafor dan Yarwood (2017) menyatakan bahwa praktek IUUF merupakan ancaman terhadap pemenuhan beberapa Tujuan SDGs 2030. Arti penting dari laut dan sumber daya yang terletak di bawahnya terwakili dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Secara khusus, Sasaran 14 dari SDGs menyoroti kebutuhan untuk melestarikan laut. Artinya laut memiliki kontributor yang signifikan terhadap pencapaian SDGs lainnya. Tujuan 1 dan 2 ditujukan untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, dimana pasokan ikan merupakan sarana penting untuk realisasinya. Perikanan juga membuat kontribusi besar untuk pendapatan nasional, sehingga membantu pencapaian Tujuan 8 yang berusaha untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, besarnya tingginya praktek-praktek perikanan yang tidak berkelanjutan yang berbahaya bagi lingkungan laut, seperti polusi, penangkapan ikan yang berlebihan dan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU) fishing, mengancam kemampuan pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya perikanan.
Konsistensi Indonesia dalam memberantas IUUF sepanjang akhir 2014 sampai saat ini sudah mendapatkan apresiasi dari beberapa negara, seperti adanya insentif ekonomi dari pasar dunia, khususnya dari USA dan Uni Eropa. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan fasilitas Generalized System of Tariff Preferences (GSP) Amerika Serikat untuk produk perikanan Indonesia yang telah dihentikan mulai 31 Juli 2013 dan dikenakan tarif normal kembali berkisar 2,3% – 15%. Namun demikian berdasarkan Konsistensi Pemerintah Indonesia memberantas IUU Fishing menjadi pertimbangan Pemerintah AS untuk membuka kembali fasilitas GSP, dan efektif per 29 Juli 2015. Kebijakan Indonesia bertindak tegas memberantas IUU Fishing sejalan dengan kebijakan AS untuk memberantas IUU Fishing dan Seafood Fraud. Melalui skema GSP terdapat 66 kode HS produk perikanan diberikan tarif 0%, seperti rajungan, lobster, snail, eels, anchovies, dll.
Sementara itu dengan diberlakukannya peraturan EC No 1005/2008 Establishing a Community system to prevent, deter and eliminate illegal, unreported and unregulated fishing, beberapa negara yang masih melakukan kegiatan IUUF mendapatkan kartu kuning dari UE, yaitu negara tersebut harus memperbaiki pengelolaan perikanannya selama periode 6 bulan dan dapat diperpanjang. Apabila negara tersebut dapat melakukan perbaikan maka pra-identifikasi (kartu kuning) itu dapat dihapus, namun apabila negara tersebut tidak dapat mengatasi masalah IUUF, maka diberikan kartu merah dan masuk dalam daftar hitam, yaitu larangan semua produk tangkapannya masuk ke UE. Beberapa negara yang mendapatkan kartu kuning, antara lain Philippina (Juni 2014 sampai April 2015), PNG (Juni 2014 sampai Oktober 2015), Solomon Islands (Desember 2014 sampai Februari 2017), Thailand (April 2015 sampai Januari 2019), Taiwan (Oktober 2015 sampai saat ini) dan Viet Nam (Oktober 2017 sampai saat ini)
Selain itu juga, dengan tidak adanya armada kapal asing dan eks asing telah meningkatkan peranserta armada kapal ikan domestik. Memang benar bahwa kapal armada kapal berbendera Indonesia di ZEEI dan Laut lepas pasca kebijaakan Moratorium perizinan kapal eks asing mengalami penurunan, hal ini disebabkan sebagian besar kapal-kapal berbendera Indonesia tersebut merupakan kapal-kapal eks asing. Namun demikian, walaupun armada penangkapan di ZEEI dan laut lepas menurun, belum tentu produksi ikan yang dominan dari kedua wilayah tersebut menurun. Misalnya produksi ikan tuna, dalam periode 2015-2017 Indonesia masih dapat mempertahankan sebagai produsen tuna terbesar dunia dengan pertumbuhan produksi mencapai 0,15 % pertahun. Total produksi tuna Indonesia tahun 2017 mencapai 926.939 ton atau 15,57 % dari total produksi tuna dunia (FAO 2019).
Meningkatkan Ekonomi Perikanan
FAO (2019) memprediksi bahwa tahun 2028 pertumbuhan perdagangan ikan dunia diperkirakan melambat dibandingkan dekade sebelumnya. Hal ini disebabkan melambatnya pertumbuhan produksi ikan dunia dan ketegangan perdagangan antara USA dan China. Namun demikian tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia diperkirakan akan meningkat, seiring dengan terus meningkatnya produksi ikan, diharapkan Indonesia menjadi eksportir ikan terbesar keempat dunia Tahun 2028. Dalam periode 2016-2018 volume ekspor perikanan Indonesia rata-rata sekitar 1,30 juta ton pertahun, sementara tahun 2028 diperkirakan akan mencapai 2,92 juta ton. Misalnya saja harga komoditas ikan saat ini antara 4-5 USD per kg, dengan menggunakan harga yang sama maka tahun 2028 diperkirakan nilai ekspor perikanan Indonesia akan mencapai USD 12-15 milyar.
Oleh sebab itu pemerintah dan para pelaku usaha perikanan perlu terus meningkatkan daya saing produk perikanan dipasar internasional dan domestic. Daya saing produk perikanan Indonesia di pasar Internasional dalam 4 tahun terakhir terus mengalami perbaikan. Hal ini terlihat dari share nilai ekspor komoditas perikanan Indonesia di pasar Internasional yang cenderung meningkat, walaupun lambat. Share nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2018 mencapai 2,88 % dari total nilai ekspor dunia. Dengan share nilai ekspor perikanan tersebut, menempatkan Indonesai pada posisi 13 besar eksportir komoditas perikanan dunia. Sementara itu Viet Nam dan Thailand menduduku posisi 3 dan 6 besar sebagai eksportir ikan dunia. Share nilai ekspor Viet Nam Tahun 2018 mencapai 4,95 % dan Thailand mencapai 3,75 % dari total nilai ekspor perikanan dunia.
Namun demikian untuk nilai neraca perdagangan komoditas perikanan dunia, Indonesia menduduki posisi 6 besar. Sementara Viet Nam dan Thailand menduduki posisi 7 dan 10 terbesar dunia. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan komoditas perikanan Indonesia sebagain besar ditopang oleh pasokan bahan baku dalam negeri. Sementara itu untuk negara-negara lain, seperti Thailand dan Viet Nam, kinerja perdagangannya sangat tergantung pada pasokan bahan baku dari negara lain (Impor). Dengan demikian kedepan diharapkan daya saing Indonesia akan semakin membaik, terlebih pasokan bahan baku nasional terlihat semakin membaik dalam beberapa tahun terakhir ini.
Berdasarkan hal tersebut strategi yang akan dilakukan agar produk perikanan indonesia dapat bersaing atau berjaya di pasar nasional dan International adalah, pertama dalam jangka pendek pemerintah perlu terus memperbaiki dan memperkuat rantai pasok komoditas ikan nasional dari wilayah basis produksi (Indonesia Bagian Timur dan Sebagian Tengah) ke basis industri pengolahan ikan dan pasar ikan dalam negeri (Indonesia Bagian Barat dan Sebagain Tengah).
Kedua, dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu mendorong para Investaor industri pengolahan untuk membangun industrinya di lokasi yang berdekatan dengan bahan baku. Hal ini selain untuk meningkatkan efisiensi kinerja Industri, juga dimaksudkan agar nilai tambah hasil produksi perikanan betul-betul dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Nilai tambah tersebut misalnya berupa serapan tenaga kerja lokal bagi Industri pengolahan perikanan.
Ketiga, menambah dan memperkuat kinerja logistik perikanan nasional. Hal ini dimaksudkan agar biaya logistik ikan nasional dapat lebih ditekan guna terus meningkatkan daya saing produk perikanan nasional. Biaya logistik ikan nasional saat ini masih sangat tinggi, sehingga harga bahan ikan menjadi kurang kompetitip dipasar internasional.
Keempat, optimalisasi SKPT-SKPT yang telah dibangun oleh pemerintah, khususnya yang ada diwilayah perbatasan dalam meningkatkan kinerja ekspor perikanan nasional. Hal ini dimaksudkan agar pusat ekspor perikanan nasional dapat menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Selama ini pusat ekspor komoditas perikanan nasional lebih terpusat di wilayah Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara.
Kelima, menumbuhkan para pelaku usaha perikanan baru, khususnya para pelaku ekspor perikanan. Hal ini dimaksudkan agar kinerja ekspor perikanan kedepan akan semakin membaik. Keenam, meningkatkan konsumsi ikan nasional, hal ini dimaksudkan agar serapan konsumsi ikan nasional terus dapat terjaga dengan baik. Penduduk Indonesia yang mencapai diatas 200 juta merupakan pasar potensial untuk produk perikanan nasional.
Alhasil komitmen dan konsistensi Jokowi dalam memberantas IUUF perlu terus dikawal dengan baik. Oleh sebab itu keberadaan “Menteri yang berani” seperti Ibu Susi Pudjiastuti menjadi kunci keberhasilan Indonesia bebas dari kejahatan IUUF dan pencapaian Tujuan SDGs 2030 pun diharapkan dapat dicapai dengan baik.