(Tulisan ini bersumber dari arsip tulisan Penulis tahun 2007, dimuat pada Harian Umum Sinar Harapan, edisi 10 April 2007. Berdasarkan tulisan ini penulis sangat mendukung kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Moratorium Perizinan Kapal Eks Asing yang dilanjutkan dengan menghentikan PMA di sektor perikanan tangkap serta penghentian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan)
***
Oleh : Suhana
Departemen Kelautan dan Perikanan dalam waktu dekat akan melakukan moratorium penangkapan ikan sekitar tiga sampai enam bulan di lima kawasan perikanan tangkap, yaitu perairan Jakarta, Lampung, Kepulauan Riau, Maluku dan Teluk Tomini (Kompas, Senin 26 Maret 2007). Langkah tersebut sangat baik untuk dilakukan saat ini karena kondisi sumberdaya ikan di beberapa wilayah penangkapan sudah mengalami overexploited.
Secara teori kebijakan moratorium perikanan tangkap dimaksudkan untuk mengembalikan kondisi sumberdaya ikan kepada mendekati kondisi awal. Hal ini disebabkan karena keuntungan ekonomi hasil tangkapan ikan sudah mendekati nol (π = 0). Artinya bahwa upaya setiap yang dilakukan oleh nelayan atau perusahaan perikanan dalam melakukan penangkapan ikan (Eop) sudah tidak sebanding lagi dengan nilai hasil tangkapannya. Hal ini disebabkan menurunnya sumberdaya ikan yang tertangkap–baik jumlah maupun ukuran ikan serta diperparah oleh meningkatnya biaya operasional penangkapan ikan. Sehingga secara ekonomi kegiatan perekonomian perikanan tangkap tersebut sudah tidak menguntungkan. Oleh sebab itu untuk mengembalikan kondisi sumberdaya ikan dan perekonomian perikanan tersebut perlu dilakukan berbagai kebijakan, salah satunya adalah Moratorium Perikanan Tangkap.
Kondisi tersebut dapat kita jumpai hampir diseluruh wilayah perairan Indonesia. Misalnya, sebagain besar armada kapal penangkapan ikan tuna yang bermarkas di Pelabuhan Benoa, Bali, terpaksa memutar haluan menjadi pengumpul ikan untuk mencegah penutupan usaha akibat lonjakan biaya operasional yang disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak. Sementara hasil tangkapan armada kapal tuna tersebut setiap tahunnya terus mengalami penurunan (Kompas, 29 Maert 2007). Sebagai gambaran saja tahun 1997 di Benoa, Bali terdapat sekitar 459 kapal tuna yang tergabung kedalam Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ALTI) yang berperasi di ZEEI, ekspor yang bias dicapai dari armada kapal tersebut adalah sekitar 75 juta US $. Sementara pada tahun 2005 jumlah armada kapal meningkat menjadi 668 unit, akan tetapi nilai ekspornya turun menjadi 41 juta US $ (National Geographic Indonesia, Edisi April 2007). Artinya bahwa dalam kurun waktu 1997-2005 tersebut telah terjadi penurunan jumlah sumberdaya ikan yang tertangkap di wilayah ZEEI. Sehingga beberapa perusahaan mengalihkan armada penangkapannya untuk aktivitas pengumpul ikan saja. Pengakuan yang sama juga disampaikan oleh beberapa perusahaan perikanan di Kota Bitung, Sulawesi Utara yang menyatakan bahwa sejak tahun 2000 ikan tuna yang masuk kepada perusahaannya terus mengalami penurunan baik dari segi jumlah maupun ukuran (size) ikan. Selain itu juga menurut pengakuan para nelayan kecil di sebagian besar wilayah perairan Indonesia menyatakan bahwa hasil tangkapan mereka tidak sebanding lagi dengan biaya operasional melaut.
Pengakuan para pelaku perikanan tersebut juga didukung oleh data statistik perikanan yang dikeluarkan oleh FAO. Publikasi Food Agriculture Organization (FAO,Maret 2007) mengungkapkan bahwa kondisi sumberdaya ikan di sekitar perairan Indonesia, terutama di sekitar perairan Samudera India dan samudera pasifik sudah menujukan kondisi full exploited. Bahkan di perairan Samudera Hindia kondisinya cenderung mengarah kepada overexploited. Artinya bahwa dikedua perairan tersebut saat ini sudah tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan ekspansi penangkapan ikan secara besar-besaran.
Berdasarkan pengakuan-pengakuan para pelaku perikanan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat dua hal yang menyebabkan keuntungan usaha perikanan menurun, yaitu pertama biaya operasional yang terus meningkat, karena seiring dengan kenikan harga bahan bakar minyak. Kedua, hasil tangkapan nelayan menurun, baik dari segi jumlah maupun ukuran ikan. Oleh sebab itu kebijakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah pertama mengendalikan harga bahan bakar minyak untuk nelayan dan moratorium perikanan tangkap. Dengan demikian langkah moratorium perikanan tangkap tersebut harus didukung oleh semua pihak, dan direncanakan secara cepat dan tepat. Karena konsekuensi moratorium tersebut akan berdampak terhadap peningkatan pengangguran di sektor perikanan.
Dampak Moratorium Perikanan Tangkap
Secara jangka panjang kebijakan moratorium perikanan tangkap akan berdampak terhadap kelestarian sumberdaya ikan dan keberlanjutan industri perikanan tangkap nasional. Namun demikian secara jangka pendek moratorium perikanan tangkap akan menimbulkan empat masalah, yaitu pertama, penurunan produksi ikan sekitar 20 persen. Karena selama ini 20 persen produksi perikanan nasional berasal dari kelima wilayah yang akan dikenakan kebijakan moratorium. Penurunan produksi ini secara langsung akan berdampak terhadap penurunan jumlah ekspor dan suplai bahan baku kepada industri pengolahan ikan. Kedua, peningkatan jumlah pengangguarn di sektor perikanan, terutama para nelayan dan pegawai pabrik pengolahan ikan sekitar 24 persen. Ketiga, investasi perikanan tangkap di kelima wilayah tersebut akan terhenti. Keempat, pengawasan nelayan terhadap sumberdaya ikan di kelima wilayah tersebut akan berkurang, akibatnya apabila tidak dapat diantisipasi secara baik akan menimbulkan menjamurnya pencurian ikan.
Oleh sebab itu untuk mengoptimalkan moratorium perikanan tangkap tersebut pemerintah harus melakukan beberapa langkah, yaitu pertama, menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pengolahan ikan di kelima wilayah yang akan dikenakan moratorium. Hal ini dapat dilakukan dengan cara bekerjasama dengan nelayan-nelayan di wilayah lain. Adanya kerjasama ini selain berdampak terhadap keberlangsungan bahan baku industri pengolahan ikan juga meningkatkan harga jual ikan hasil tangkapan nelayan. Kedua, meningkatkan daya saing produk perikanan nasional di pasar internasional. Sehingga walaupun secara kuantitas ekspor perikanan menurun akan tetapi secara nilai ekspor perikanan dapat dipertahankan. Ketiga, mengkaji ulang strategi pemberdayaan ekonomi nelayan. Selama ini pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pemberdayaan nelayan hanya sebatas memberikan bantuan alat produksi perikanan tangkap seperti perahu, jaring ikan dan alat tangkap lainnya. Sementara pemberdayaan nelayan diluar kegiatan penangkapan ikan belum banyak disentuh dan difikirkan oleh pemerintah sebagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dengan adanya moratorium perikanan tangkap tersebut maka pemberdayaan nelayan di luar kegiatan penangkapan ikan hendaknya perlu dirumuskan secara baik dengan melihat potensi sumberdaya lokal.
Keempat, redesain revitalisasi perikanan. Revitalisasi perikanan saat ini hanya menekankan kepada peningkatan produksi ikan tuna, udang dan rumput laut. Padahal seperti yang telah kita lihat sebelumnya bahwa kondisi sumberdaya ikan nasional semakin kritis. Oleh sebab itu arah kebijakan revitalisasi perikanan hendaknya ditinjau kembali. Menurut hemat penulis revitalisasi perikanan hendaknya diarahkan untuk merevitalisasi lahan pertambakan yang sudah hancur, seperti di wilayah Pantura Jawa. Perikanan tambak udang di pantura Jawa pada tahun 1980-an sangat besar perannya dalam perikanan nasional. Akan tetapi memasuki tahun 1990-an kejayaan tambak udang tersebut mulai hancur, karena dihantui oleh berbagai macam pencemaran.
Kelima, menindak secara tegas praktek-praktek illegal fishing. Dalam mengatasi masalah illegal fishing pemerintah hendaknya merumuskan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan pemberantasan illegal Fishing. Praktek-praktek illegal fishing di Indonesia tidak hanya pencurian ikan saja, akan tetapi juga seperti penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl, bom ikan, cianidae. Selain itu juga keberadaan pelabuhan pendaratan ikan milik swasta juga diduga kuat turut memperkeruh keterpurukan pengelolaan sumberdaya ikan nasional. Keberadaan Perpres tersebut dimaksudkan agar pemberantasan praktek illegal fishing di perairan Indonesia dapat dilakukan secara cepat dan tepat dengan melibatkan berbagai instansi yang terkait, seperti Departemen Kelautan dan Perikanan, Kepolisian RI, TNI-AL, pengadilan dan pemerintah daerah.
Keenam, memperkuat peran aparat penegak hukum dilaut dalam mengawasi pencurian ikan di wilayah perairan yang terkena moratorium. Oleh sebab itu dukungan dukungan politik, sumberdaya manusia dan sarana dan prasarana pengawasan sumberdaya ikan laut.
Hemat penulis, moratorium perikanan tangkap saat ini sudah mendesak untuk dilakukan guna menjaga keberlangsungan pengelolaan sumberdaya ikan di masa yang akan datang. Namun demikian hendaknya rencana moratorium tersebut perlu direncanakan secara cepat dan tepat. Oleh sebab itu berbagai dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan, terutama dukungan dari pemerintah, pengusaha perikanan, masyarakat nelayan dan aparat penegakan hukum di laut.