Ilustrasi Produk Seafood Legal (by Gemini)

Sinopsis Jurnal

Oleh : Suhana

Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing atau penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur telah lama menjadi isu global yang merugikan negara-negara pesisir. Menurut Roberson et al. (2025), sekitar 20% tangkapan laut dunia berasal dari aktivitas IUU fishing. Dampak negatifnya meliputi pertama, kerusakan ekologi, yaitu penurunan stok ikan dan rusaknya rantai ekosistem laut. Kedua, kerugian ekonomi, yaitu kehilangan triliunan rupiah akibat penangkapan ilegal dan praktik perdagangan curang. Ketiga, masalah sosial, yaitu pelanggaran HAM, perbudakan modern, hingga eksploitasi awak kapal.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan potensi laut yang besar dan eksportir seafood utama dunia, menghadapi tantangan ganda, yaitu menjaga keberlanjutan laut sekaligus memastikan daya saing ekspor yang mematuhi standar internasional.

Studi Roberson et al. (2025)  yang dipublikasi dalam jurnal Conservation Letters Volume 18, Issue 1 Jan 2025 mengungkapkan bahwa hanya beberapa negara—Uni Eropa (UE), Amerika Serikat (AS), dan Jepang—yang menerapkan kebijakan impor seafood untuk melawan IUU fishing. Namun, sistem mereka belum sempurna. UE menggunakan EU Catch Certification Scheme berbasis dokumen kertas yang rentan pemalsuan. Sementara itu Amerika Serikat memiliki Seafood Import Monitoring Program (SIMP) yang bergantung pada importir untuk memeriksa legalitas produk, tanpa sistem verifikasi terpusat. Jepang baru memulai kebijakan serupa pada 2022, terbatas pada empat kelompok spesies utama.

Kelemahan ini membuka celah masuknya seafood ilegal ke pasar global. Oleh karena itu, Roberson et al. mengusulkan pendekatan baru berbasis digital, terintegrasi, dan multilateral.

Konsep Baru yang Diusulkan Roberson et al. (2025)

Studi Roberson et al. (2025)  ini tidak hanya menyoroti kelemahan sistem yang ada, tetapi juga memperkenalkan konsep kebijakan impor seafood generasi baru yang terdiri dari beberapa elemen kunci, yaitu pertama, Sistem Sertifikasi Elektronik Penuh (Fully Electronic Catch Documentation System). Setiap produk seafood harus dilengkapi sertifikat elektronik dari titik penangkapan hingga pasar akhir. Teknologi seperti blockchain, Internet of Things (IoT), dan smart contracts digunakan untuk menjamin integritas data dan menghindari pemalsuan dokumen.

Kedua, Registri Sertifikat Terpusat Multilateral. Diusulkan adanya platform global atau lintas negara yang menyimpan semua sertifikat tangkapan dan perdagangan dalam satu sistem. Registri ini memungkinkan negara-negara pengimpor untuk saling memverifikasi data, mengurangi celah untuk produk IUU masuk melalui pasar negara tanpa regulasi ketat.

Ketiga, Pemantauan Otomatis dengan Mass Balance Check. Melalui algoritma otomatis, sistem dapat memeriksa kesesuaian antara jumlah tangkapan yang disertifikasi dengan volume ekspor yang beredar. Deteksi dini atas “anomali volume” dapat mencegah manipulasi sertifikat.

Keempat, Integrasi dengan Sistem Kepabeanan. Sistem sertifikasi harus langsung terhubung dengan sistem bea cukai dan perizinan perdagangan, sehingga setiap impor/ekspor seafood otomatis diverifikasi sebelum masuk ke pasar domestik.

Kelima, Validasi oleh Otoritas Publik. Berbeda dengan sistem AS yang menyerahkan verifikasi pada importir, konsep ini menegaskan peran pemerintah sebagai validator resmi, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.

Keenam, Interoperabilitas Antarnegara. Kebijakan baru harus dirancang agar bisa saling terhubung dengan kebijakan negara lain, termasuk kesesuaian dengan CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) dan standar ketertelusuran FAO.

Ketujuh, Cakupan Spesies yang Luas. Sistem tidak boleh terbatas pada spesies komersial utama seperti tuna, tetapi mencakup berbagai jenis ikan, krustasea, dan produk perikanan lainnya untuk menutup celah manipulasi label.

Konteks Indonesia: Di Mana Posisi Kita?

Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melawan IUU fishing, dimana UU No. 45/2009 tentang Perikanan sebagai dasar hukum penindakan. Kebijakan Moratorium kapal asing/ Eks Asing (Permen KP No. 56/2014) yang menekan praktik pencurian ikan di perairan Indonesia. Sistem Logistik Ikan Nasional yang mendukung ketertelusuran produk domestik.

Namun, kebijakan impor seafood di Indonesia masih memiliki kelemahan, diantaranya belum ada sistem sertifikasi impor berbasis elektronik yang terintegrasi dengan kepabeanan. Kedua, produk impor seperti salmon dan mackerel masih masuk dengan mekanisme konvensional yang rawan celah; dan ketiga,  akses pasar ekspor ke UE dan AS berisiko terhambat jika standar traceability tidak diselaraskan dengan kebijakan global.

Penerapan konsep kebijakan impor seafood digital seperti yang diusulkan Roberson et al. dapat memperkuat posisi Indonesia di tingkat global. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:

  1. Membangun Sistem E-CDT Nasional Berbasis Blockchain. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat memperluas proyek Electronic Catch Documentation and Traceability (E-CDT) yang telah diuji coba menjadi sistem wajib untuk ekspor dan impor seafood.
  2. Integrasi Data Lintas Kementerian. Menghubungkan sistem sertifikasi perikanan (KKP) dengan Bea Cukai dan Kemendag untuk memperkuat verifikasi produk sebelum masuk pasar domestik.
  3. Kerja Sama Regional ASEAN. Melalui RPOA-IUU, Indonesia dapat memimpin inisiatif pembentukan registri sertifikat regional untuk mengamankan rantai pasok di Asia Tenggara.
  4. Dukungan untuk Nelayan Kecil dan UMKM. Pelatihan digitalisasi ketertelusuran harus menjangkau nelayan kecil agar mereka dapat terlibat dalam rantai pasok legal global.
  5. Regulasi Impor Seafood Berbasis Digital. Mengadopsi kebijakan yang mewajibkan importir menyerahkan sertifikat elektronik yang terhubung dengan registri global sebelum izin impor diberikan.

Implementasi kebijakan impor seafood berbasis digital diharapkan akan membawa berbagai manfaat bagi Indonesia, yaitu pertama, ekonomi, memperkuat akses ekspor ke pasar premium seperti UE dan AS. Kedua, lingkungan, mengurangi praktik IUU fishing dan mendukung konservasi laut. Ketiga, sosial, melindungi nelayan lokal dari persaingan tidak adil dengan produk ilegal. Keempat, politik internasional, memperkuat posisi Indonesia sebagai pemimpin regional dalam perikanan berkelanjutan.

Dus, riset Roberson et al. (2025) memberikan kerangka kebijakan baru yang konkret untuk memerangi IUU fishing melalui digitalisasi sertifikasi impor seafood. Jika Indonesia segera mengadopsi konsep ini, bukan hanya lautan kita yang terlindungi, tetapi juga daya saing ekspor meningkat dan komitmen terhadap blue economy serta SDG 14 (Life Below Water) semakin kuat. Dengan potensi dan posisi strategis yang dimiliki, Indonesia berpeluang kembali menjadi role model global dalam perdagangan seafood yang legal, transparan, dan berkelanjutan.

   Send article as PDF   

Anda mungkin juga menyukai:

error: Content is protected !!