Ilustrasi Surimi Tilapia by Gemini

Sinopsis

Oleh : Suhana

Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan kekayaan perikanan yang melimpah. Namun, di balik potensi besar itu, industri surimi—produk olahan ikan yang mendunia—menghadapi tantangan serius. Selama puluhan tahun, bahan baku surimi bergantung pada ikan laut demersal seperti pollock dan threadfin bream yang kini stoknya semakin menipis akibat overfishing. Ironisnya, saat kita sibuk mengimpor bahan baku surimi, Indonesia sebenarnya memiliki “harta karun” di perairan air tawarnya, yaitu Tilapia.

Tilapia atau ikan Nila yang selama ini kita kenal sebagai ikan konsumsi harian ternyata punya potensi besar menjadi bahan baku surimi. Nugroho, K. Catur et all (2025) dalam artikel ilmiah terbaru berjudul “Transforming the Future of Surimi as the Next Frontier in Sustainable Raw Materials” pada jurnal Environmental and Sustainability Indicators Volume 27 Tahun 2025 menyebutkan bahwa Tilapia memiliki karakteristik daging putih, tekstur lembut, dan ketersediaan massal yang membuatnya ideal untuk mendukung industri surimi berkelanjutan.

Pamungkas, Irama Dramawanti et all (2022) juga menyatakan bahwa ikan Nila memiliki daging yang berwarna putih sehingga sangat baik digunakan dalam pembuatan surimi. Dari segi tekstur surimi ikan Nila memiliki tekstur daging yang agak padat yang menjadikan hasil akhir kamabokonya agak keras. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penambahan enzim pada surimi ikan nila sehingga mendapatkan tekstur kamaboko lebih lembut.

Krisis Bahan Baku Surimi

Hingga saat ini, lebih dari 80% surimi dunia dihasilkan dari ikan laut demersal. Namun, stok ikan-ikan ini terus menurun karena penangkapan berlebih dan perubahan iklim. Akibatnya, harga bahan baku melonjak tajam hingga 30% dalam lima tahun terakhir, mengancam keberlanjutan industri hilirisasi perikanan di banyak negara, termasuk Indonesia.

Di sisi lain, Indonesia merupakan produsen Tilapia terbesar kedua di dunia, dengan produksi mencapai 1,37 juta ton pada 2023. Tilapia dibudidayakan di tambak-tambak air tawar dan payau di Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi, menjadikannya sumber bahan baku yang stabil, terjangkau, dan ramah lingkungan. Potensi inilah yang membuat banyak peneliti menyebut Tilapia sebagai “game changer” bagi industri Surimi.

Sebaran Produksi Tilapia Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2023

Studi yang dilakukan oleh berbagai universitas internasional dan lembaga riset menunjukkan bahwa daging Tilapia memiliki kualitas fungsional yang mendekati ikan laut jika diproses dengan teknologi modern. Penambahan enzim seperti trypsin, teknologi pencucian ultrasonik, serta cryoprotectant alami (contohnya ekstrak kulit jeruk) mampu meningkatkan elastisitas, daya ikat air (water holding capacity), dan tekstur gel surimi tilapia.

Bahkan, produk surimi berbasis tilapia yang diuji secara sensoris mendapatkan skor “kenyal dan lembut” setara dengan surimi premium dari Alaska Pollock. Dengan inovasi ini, industri bisa memproduksi Surimi dari Tilapia untuk berbagai olahan seperti bakso ikan, nugget, kamaboko, hingga imitation crab stick.

Peluang Ekonomi

Permintaan global untuk Surimi terus meningkat, mencapai USD 8,4 miliar pada 2024 dan diproyeksikan tumbuh 5% per tahun hingga 2030. Negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa menjadi pasar utama yang membutuhkan bahan baku alternatif dengan kualitas tinggi.

Jika Indonesia mampu mengembangkan surimi tilapia, maka ada empath al yang bis akita dapat, yaitu (1) Mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku surimi ikan laut; (2) Meningkatkan nilai tambah ikan tilapia yang selama ini hanya dijual sebagai ikan segar; (3) Menciptakan lapangan kerja baru di sektor hilir (pengolahan, distribusi, ekspor), dan (4) Memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam industri surimi global.

Memang, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, yaitu (1) Yield Produksi, Surimi tilapia memiliki tingkat konversi lebih rendah dibanding ikan laut (sekitar 20% vs 40%). Kedua, Standardisasi Mutu, diperlukan pengujian konsistensi mutu produk agar diterima pasar global. Ketiga, Investasi Teknologi, Industri harus berinvestasi pada teknologi enzim, ultrasonik, dan cold storage.

Namun demikian, dengan dukungan riset dan kebijakan pemerintah, semua ini bisa diatasi. Kolaborasi antara petambak, industri pengolahan, dan pemerintah sangat penting untuk menciptakan rantai pasok yang terintegrasi.

Transformasi tilapia menjadi surimi bukan hanya peluang bisnis, tetapi juga solusi strategis bagi Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah diharapkan dapat terus mendorong program hilirisasi tilapia melalui insentif fiskal dan kredit lunak, memfasilitasi riset teknologi pemrosesan dan sertifikasi kualitas (HACCP, ASC), dan menggandeng investor untuk membangun unit pengolahan surimi di sentra-sentra budidaya tilapia. Sementara itu, bagi investor, surimi tilapia menawarkan Return on Investment (ROI) yang menarik karena memanfaatkan bahan baku lokal dengan permintaan ekspor tinggi.

Dus, dengan pasokan tilapia yang melimpah, teknologi pemrosesan yang terus berkembang, dan permintaan global yang tinggi, Indonesia punya peluang emas menjadi pelopor surimi tilapia dunia. Ini bukan sekadar soal bisnis, tetapi juga kontribusi nyata untuk keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan petambak lokal.

   Send article as PDF   

Anda mungkin juga menyukai:

error: Content is protected !!