Oleh : Suhana
Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (AS) atau Office of the US Trade Representative (USTR) mencabut preferensi khusus untuk daftar anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) termasuk Indonesia dalam daftar negara berkembang. Artinya, di mata AS, Indonesia sudah menjadi negara maju (Kompas/21/02/2020). Dalam situs resmi USTR (Silahkan akses di https://ustr.gov/) disebutkan bahwa pencabutan tersebut efektif pada tanggal 10 Februari 2020.
Ada tiga pertimbangan yang dijadikan USA dalam mengelelompokkan Indonesia kedalam kelompok negara maju, yaitu (1) GNI per kapita, (2) pangsa perdagangan dunia, dan (3) faktor lain seperti organisasi untuk kerjasama ekonomi dan Keanggotaan (OECD), keanggotaan Uni Eropa (EU), dan keanggotaan kelompok dua puluh (G20). Perwakilan Perdagangan AS memperhitungkan keanggotaan Indonesia di G20. G20 merupakan forum untuk kerjasama ekonomi internasional, yang menyatukan ekonomi utama dan perwakilan dari institusi internasional besar seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional.
Berdasarkan hal tersebut, Argentina, Brasil, India, Indonesia, dan Afrika Selatan tidak memenuhi syarat untuk standar 2 persen de minimis, meskipun demikian, berdasarkan data Bank Dunia terbaru, masing-masing negara memiliki GNI per kapita di bawah $12.375. Perwakilan Perdagangan AS tidak menganggap indikator pembangunan sosial seperti angka kematian bayi, tingkat buta huruf dewasa, dan harapan hidup pada saat lahir, sebagai dasar pertimbangannya.
Keputusan tersebut merupakan kebanggaan bagi Indonesia yang sudah diakui USA sebagai negara maju. Selain itu juga, keputusan tersebut merupakan tantangan baru bagi Indonesia, khususnya bagi produk ekspor perikanan Indonesia. Karena dengan dimasukannya Indonesia ke kelompok negara maju, maka kebijakan tariff bea masuk produk perikanan ke USA pun dengan sendirinya berubah.
Selama ini kebijakan tariff produk perikanan Indonesia dikenakan tarif Generalized System of Tariff Preferences (GSP), dimana sekitar 85 jenis produknya dikenakan tariff 0%. Namun demikian, sejak 10 Pebruari 2020 kebijakan tarif yang digunakan kembali ke tarif normal tahun 2020 yang berkisar 0,5 % – 35 %.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat bahwa kebijakan tariff USA terhadap produk perikanan Indonesia dalam 7 tahun terakhir sudah mengalami beberapa kali perubahan. Pada 31 Juli 2013 fasilitas Generalized System of Tariff Preferences (GSP) dari AS untuk Produk Perikanan Indonesia pernah dihentikan, sehingga dikenakan tariff normal berkisar 2,3% – 15%.
Namun demikian sejak akhir 2014 Indonesia secara tegas memberantas IUU Fishing dan diapresiasi oleh pemerintah AS, karena sejalan dengan kebijakan AS terkait anti IUU Fishing dan Seafood Fraud. Konsistensi pelaksanaan kebijakan pemberantasan IUU Fishing dan mempromosikan sustainability menjadi salah satu pertimbangan Pemerintah AS untuk membuka kembali fasilitas GSP dan efektif per 29 Juli 2015.
Berdasarkan hal tersebut para pelaku usaha perikanan perlu segera beradaftasi terhadap perubahan tariff tersebut supaya tidak menjadi penyebab penurunan signifikan terhadap kinerja ekspor produk perikanan ke USA. Terlebih pada tahun 2018 melalui skema GSP terdapat 66 kode HS produk perikanan diberikan tarif bea masuk 0%, seperti rajungan, lobster, snail, eels, anchovies, dll.
Pada tahun 2018 total impor produk perikanan AS dari seluruh negara dengan fasilitas GSP (66 kode HS) sebesar USD 441 juta atau hanya 1,82% dari total impor produk perikanan AS yang mencapai USD 24,25 Milyar. Sementara itu pada tahun yang sama, total impor produk perikanan AS dari Indonesia dengan fasilitas GSP sebesar USD 30 juta atau hanya 1,51% dari total impor produk perikanan AS dari Indonesia yang mencapai USD 2,01 Milyar.
Berikut disajikan perbandingan tariff produk perikanan USA tahun 2020 yang disalin dari website https://dataweb.usitc.gov/
***