Ilustrasi wisata bahari di pulau kecil (by Gemini)

Sinopsis

Oleh : Suhana

Indonesia dikenal sebagai negeri seribu pulau, dengan lebih dari 17.000 pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Pulau-pulau kecil seperti Raja Ampat, Gili Trawangan, Derawan, dan Karimunjawa telah menjadi destinasi wisata kelas dunia karena keindahan lautnya yang memesona. Namun, di balik gemerlap industri pariwisata ini, ada ancaman serius yang mengintai ekosistem pulau-pulau kecil yang rentan.

Studi Fei Shang et all (2025) yang dipublikasikan di Scientific Reports (2025) berjudul Stakeholder perceptions of tourism’s impacts on the ecological environment of island destinations based on a systematic review and meta‑analysis” mengungkap fakta penting, yaitu pemangku kepentingan di berbagai belahan dunia memandang pariwisata pulau lebih banyak memberi dampak negatif pada lingkungan dibandingkan manfaatnya. Temuan ini menjadi peringatan penting bagi Indonesia yang sedang giat mengembangkan wisata bahari di pulau-pulau kecil.

Ilustrasi sampah menjadi salah satu ancaman wisata bahari di pulau kecil (by ChatGPT)

Potensi Besar, Kerentanan Tinggi

Pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki daya tarik unik, seperti pasir putih, terumbu karang, biodiversitas laut yang luar biasa, serta budaya lokal yang kaya. Tak heran jika wisata bahari menjadi salah satu program prioritas dalam pengembangan ekonomi daerah dan nasional.

Namun, pulau kecil memiliki ekosistem yang rapuh. Luas daratannya terbatas, sumber daya air tawar minim, dan rentan terhadap perubahan lingkungan. Ketika ribuan wisatawan datang setiap tahun, beban terhadap ekosistem pun meningkat pesat.

Dari hasil analisis dalam studi tersebut, Fei Shang et all (2025) mengatakan bahwa masalah utama yang muncul akibat pariwisata di pulau-pulau adalah pertama, Polusi air dan sampah – Infrastruktur pengelolaan sampah di pulau kecil sering tidak memadai, sehingga banyak limbah domestik dan plastik berakhir di laut. Kedua, Kerusakan terumbu karang – Aktivitas snorkeling, diving, dan pembuangan jangkar kapal wisata seringkali menghancurkan habitat ikan. Ketiga, Krisis air bersih – Konsumsi air oleh hotel dan resort sering melebihi ketersediaan sumber daya lokal. Keempat, Penurunan keanekaragaman hayati – Laju pembangunan sering mengorbankan hutan mangrove, padang lamun, hingga area bertelur penyu.

Di sisi lain, pariwisata juga memiliki potensi positif bagi lingkungan jika dikelola dengan bijak. Studi yang sama mencatat bahwa di beberapa lokasi, yaitu pertama, Muncul kesadaran konservasi di kalangan wisatawan dan penduduk lokal. Kedua, Infrastruktur publik seperti pengelolaan limbah dan energi terbarukan ikut berkembang. Ketiga, Sektor ekonomi lokal tumbuh melalui penyediaan jasa wisata, kerajinan tangan, hingga kuliner. Sayangnya, manfaat positif ini hanya terjadi bila ada pengelolaan terpadu antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha.

Ilustrasi daya dukung wisata bahari di pulau kecil (by ChatGPT)

Tantangan Indonesia dalam Mengelola Wisata Pulau

Berdasarkan studi tersebut pengembangan wisata bahari di Indonesia menghadapi dilema, yaitu bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan? Sebagai contoh, di Gili Trawangan, NTB, jumlah wisatawan yang membeludak pernah menyebabkan krisis air bersih dan pembuangan limbah sembarangan. Sementara itu, di Karimunjawa, Jawa Tengah, aktivitas pariwisata yang tidak terkontrol mengakibatkan penurunan populasi ikan karang.

Studi Fei Shang et all (2025) tersebut merekomendasikan tiga strategi kunci yang relevan untuk konteks Indonesia, yaitu pertama, Pelibatan Multi-Pemangku Kepentingan. Pemerintah, masyarakat lokal, pengusaha, dan wisatawan harus duduk bersama dalam perencanaan. Model kolaboratif ini akan menghasilkan kebijakan yang lebih adil dan realistis. Kedua, Kebijakan Adaptif Berbasis Lokasi. Regulasi harus fleksibel dan disesuaikan dengan kapasitas ekologis masing-masing pulau. Misalnya, pembatasan jumlah wisatawan (quota-based tourism) atau aturan ketat soal pembangunan hotel. Ketiga, Pemantauan Lingkungan Berkelanjutan. Sistem pemantauan berbasis data sangat penting untuk mengevaluasi dampak pariwisata secara periodik. Misalnya, melalui sensor kualitas air atau citra satelit untuk memantau degradasi terumbu karang.

Untuk memastikan wisata pulau tidak menjadi bumerang, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan Ekowisata yang menekankan prinsip Conservation – Setiap aktivitas wisata harus mendukung pelestarian alam, Community – Memberdayakan masyarakat lokal sebagai pelaku utama, bukan sekadar penonton, dan Education – Mendidik wisatawan untuk berperilaku ramah lingkungan.

Beberapa praktik baik sudah mulai terlihat di Indonesia. Misalnya, di Raja Ampat, Papua Barat, ada sistem biaya konservasi yang dipungut dari wisatawan untuk mendanai patroli laut dan rehabilitasi karang. Di Pulau Derawan, program transplantasi karang dan edukasi wisatawan telah membantu memulihkan sebagian ekosistem laut.

Dus, pariwisata pulau bisa menjadi pedang bermata dua, memberi devisa dan kesejahteraan sekaligus mengancam kelestarian alam jika salah kelola. Studi Fei Shang et all (2025) ini adalah peringatan dini bagi Indonesia untuk tidak mengulang kesalahan yang terjadi di banyak destinasi dunia. Jika dikelola dengan strategi yang tepat, pulau-pulau kecil Indonesia dapat menjadi ikon wisata dunia yang lestari, di mana ekonomi dan ekologi berjalan beriringan.

“Jangan sampai pesona pulau-pulau kecil Indonesia hanya menjadi cerita di brosur wisata, sementara ekosistemnya hancur tak tersisa.”

   Send article as PDF   

Anda mungkin juga menyukai:

error: Content is protected !!