
Oleh : Suhana
Pasar cakalang beku dunia menghadapi era baru penuh tantangan, selain faktor alam dan permintaan global, kini kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) turut mengguncang keseimbangan pasokan. Dari lonjakan harga ekstrim hingga strategi adaptasi para eksportir Asia—fenomena ini mencerminkan kompleksitas perdagangan komoditas laut modern. Artikel singkat ini akan mengulasan secara komprehensif tren harga 2011–2025 dan prediksi hingga 2026, dikaitkan langsung dengan tarif AS terbaru.
Tren Harga 2011–2025: Suasana Fluktuatif Berulang
Dalam periode 2011-2025, harga Cakalang beku (Raw Material) mengalami penuh tantangan, baik faktor alam, pasar dan kebijakan. Berdasarkan catatan ThaiUnion (2025) trend harga Cakalang dalam periode 2011-2025 dapat dibagi menjadi 7 kondisi, yaitu Pertama, Boom 2011–2012, yaitu kondisi puncak ekspansi. Awal dekade 2010-an menandai periode “bull run” yang luar biasa: harga cakalang di Bangkok meroket dari US$1.515/ton (Jan 2011) hingga mencapai US$2.350/ton (Sep 2012). Lonjakan ini dipicu oleh kombinasi El Niño, tingginya permintaan untuk industri pengalengan, serta kebijakan RFMO seperti pembatasan FAD (Fish Aggregating Device) yang mempersempit pasokan (FAO Globefish, 2012).

Kedua, koreksi 2013–2015, yaitu kondisi Over‑supply & Penurunan Permintaan. Fenomena bull-run akhirnya menuju koreksi tajam. Dengan pasokan global yang melimpah dan permintaan dari Eropa–AS melemah, harga turun hingga menyentuh US$1.000/ton (Des 2015)—ini menggambarkan siklus “boom-bust” di pasar komoditas laut (Globefish, 2016). Ketiga, 2016–2017, kondisi Pemulihan Stok & Harga. Upaya penutupan FAD serta pengawasan RFMO menghasilkan rebound harga signifikan—mencapai US$2.300/ton (Okt 2017)—menandakan bahwa intervensi pengelolaan stok berdampak langsung pada keseimbangan pasokan (ICCAT, 2018).
Keempat,  2018–2019, yaitu kondisi Stabilitas dengan Gestur Penurunan. Setelah 2017, harga kembali stabil pada kisaran US$1.300–1.650/ton. Namun tanda overfishing kembali tampak saat harga turun ke US$900/ton (Okt 2019). Kelima,  2020–2021, yaitu Episode Pandemi COVID‑19. Pandemi global menyebabkan gangguan logistik dan turunnya permintaan restoran, sehingga harga menurun hingga US$1.200/ton (awal 2021) (FAO, 2021).
Keenam, 2022–Q2 2023, yaitu kondisi Lonjakan Baru. Keterbatasan pasokan akibat FAD closure plus lonjakan biaya bahan bakar memicu harga naik kembali ke kisaran US$2.000/ton (SeafoodSource, 2023). Ketujuh, 2024–Pertengahan 2025, yaitu Normalisasi & Konsolidasi. setelah puncak 2023, harga mulai menurun ke rentang US$1.400–1.580/ton, mencerminkan stabilisasi pasokan global (FAO, 2025).
Kebijakan Tarif AS
Pada pertengahan 2025, USA mengenakan tarif “reciprocal” hingga 36% untuk Thailand dan 32% untuk Indonesia (S&P Global, 2025). Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi “America First”, dengan tarif baseline 10% dan tarif spesifik merujuk beban impor reaktif dari setiap negara (Trade Compliance, 2025).
Konsekuensi ekonomi dari kebijakan tarif tersebut adalah, pertama penurunan tajam permintaan dari USA terhadap produk seafood, mendorong importir untuk lebih selektif (Reuters, 2025). Kedua, Eksportir Thailand – yang memasok ~US$1,7 miliar seafood per tahun kepada USA – menghadapi risiko penurunan ekspor hingga puluhan milyar baht (S&P Global, Reuters) dan memangkas margin keuntungan. Ketiga, mitigasi kebijakan melalui diversifikasi pasar ke Eropa, Timur Tengah, dan Asia Selatan, juga pembicaraan pengecualian tarif (VietnamPlus, 2025).
Meskipun tarif USA berlaku Agustus 2025, ekspektasi penurunan permintaan telah memengaruhi harga awal 2025—harga stabil di kisaran US$1.480–1.500/ton, lebih rendah dibanding periode puncak 2023, walau pasokan global kembali meningkat.
Berdasarkan kebijakan tarif tersebut, ada dua prediski harga Cakalang beku pada tahun 2026, yaitu pertama Skenario Moderat, dengan tarif bertahan, harga cenderung stabil di US$1.700–1.800/ton, didorong oleh efisiensi ekspor ke pasar non‑USA.Kedua, Skenario Optimis, jika pengecualian tarif diperpanjang, permintaan USA bisa pulih → harga bisa naik ke US$1.800–2.000/ton (SeafoodSource, 2025).
Proyeksi harga di 2026 tetap optimis di kisaran US$1.700–1.800/ton, didukung oleh supply global dan adaptasi pasar. Namun, keberhasilan strategi bergantung pada respons kebijakan USA: apakah tarif diperpanjang atau dilonggarkan juga memengaruhi arah tren selanjutnya.
Dus, perdagangan Cakalang beku bukan sekadar soal pasokan dan permintaan—sekarang juga soal kebijakan proteksionis global. Eksportir paling tangguh adalah mereka yang bisa membaca gelombang geopolitik dan mengubahnya menjadi strategi pasar adaptif. Dengan persiapan yang matang, industri Asia, khususnya di Indonesia bisa bertahan dan berkembang di tengah ancaman tarif, sekaligus menjawab panggilan permintaan global yang berubah-ubah.