Ilustrasi nelayan lokal menghadapi ancaman produk perikanan impor dari USA (By Gemini).

Oleh : Suhana

Kesepakatan tim negosiasi Indonesia-USA untuk menurunkan tarif impor produk perikanan asal Amerika Serikat hingga 0% dan menetapkan tarif ekspor Indonesia ke USA sebesar 19% sangat memukul para pelaku perikanan Indonesia. Kesepakatan perdagangan internasional yang timpang dapat menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sektor ini. Skenario di mana pemerintah Indonesia menurunkan tarif impor produk perikanan Amerika Serikat hingga 0%, sementara AS tetap mengenakan tarif tinggi (19%) terhadap produk perikanan Indonesia, adalah contoh nyata ketidakadilan perdagangan yang dapat memukul telak nelayan dan pelaku usaha perikanan lokal.

Tarif 0% untuk produk AS membuat pasar domestik Indonesia terbuka lebar bagi produk impor dengan harga murah dan standar kualitas tinggi. Pada saat yang sama, tarif 19% yang dikenakan oleh AS terhadap produk Indonesia menutup akses pasar ekspor ke negara tersebut. Akibatnya, Indonesia berada dalam posisi yang merugikan di kedua sisi, yaitu pertama, pasar domestik tergerus produk impor karena harga yang lebih kompetitif dan standar internasional yang sudah diakui. Kedua, pasar ekspor terhambat oleh tarif tinggi, membuat produk perikanan Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara lain yang memiliki perjanjian tarif lebih kecil.

Tren Ekspor Produk Perikanan USA ke Indonesia

Selama dua dekade terakhir, ekspor produk perikanan Amerika Serikat ke Indonesia menunjukkan pola yang fluktuatif tetapi cenderung meningkat secara keseluruhan. Pada Periode 2000–2010, volume dan nilai ekspor relatif rendah, dengan nilai rata-rata di bawah USD 10 juta per tahun. Namun pada 2008 terjadi lonjakan signifikan, dengan volume ekspor mencapai 13 juta kg dan nilai hampir USD 18,7 juta.

Gambar Perkembangan Ekspor Produk Perikanan USA ke Indonesia 2000-2024

Sumber : NMFS 2025, diolah Suhana

Periode 2011–2020, tren meningkat tajam. Tahun 2012 tercatat sebagai salah satu titik penting dengan ekspor mencapai 14,8 juta kg senilai USD 34,8 juta. Lonjakan terjadi lagi pada 2017 ketika volume ekspor menyentuh 34 juta kg dengan nilai USD 42,6 juta. Sementara itu pada periode 2021–2024, fluktuasi besar terjadi akibat pandemi COVID-19, namun tahun 2024 kembali mencatatkan peningkatan, dengan volume 12,3 juta kg dan nilai USD 43,2 juta.

Peningkatan ini dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu kualitas produk AS yang terstandarisasi dengan baik (HACCP, traceability) dan permintaan industri pengolahan Indonesia terhadap bahan baku impor untuk memenuhi pasar ekspor. Berdasarkan tren tersebut diperkirakan bahwa dengan diberlakukannya tarif 0%, ekspor produk perikanan USA ke Indonesia berpotensi naik lebih tinggi lagi, terutama untuk produk olahan seperti ikan beku dan fillet.

Penurunan tarif impor hingga 0% secara teoritis membuat produk USA lebih kompetitif di pasar domestik. Dengan elastisitas substitusi produk perikanan yang cukup tinggi (Armington elasticity ~3,8), konsumen Indonesia, terutama industri pengolahan besar, cenderung akan memilih produk impor yang lebih murah dan terjamin standarnya.

Sementara itu, ekspor Indonesia ke AS berpotensi turun jika tarif 19% terus diberlakukan, karena pembeli di AS akan mencari alternatif dari negara lain dengan tarif lebih rendah. Padahal selama ini USA merupakan pasar utama produk perikanan Indonesia dengan share lebih dari 35%.

Baca juga : Ekspor perikanan RI Terancam! 

Ilustrasi produk perikanan USA dengan tarif 0% akan membanjiri pasar Indonesia, akan mengancam produk lokal (by Gemini)

Nelayan dan UMKM: Pihak Paling Rentan

Pertama, pendapatan nelayan terancam. Nelayan skala kecil, yang mendominasi lebih dari 90% pelaku perikanan di Indonesia, akan menjadi pihak pertama yang merasakan dampak negatif. Penurunan permintaan pasar domestik akibat banjir produk impor akan menekan harga ikan segar di tingkat pelabuhan. Jika tidak ada intervensi, pendapatan nelayan bisa turun hingga 30–40%, sebagaimana tercatat pada periode liberalisasi perdagangan tahun 2005 ketika impor produk perikanan melonjak.

Kedua, UMKM Perikanan di ambang krisis. UMKM pengolahan perikanan yang masih bergantung pada pasar lokal juga menghadapi ancaman serius. Dengan masuknya produk olahan dari AS seperti fillet beku dan ikan kaleng yang sudah memiliki standar HACCP, UMKM domestik akan kesulitan bersaing baik dari sisi harga maupun kualitas.

Ketiga, ancaman terhadap ketahanan pangan nasional. Ironisnya, dalam jangka panjang kondisi ini bisa mengancam ketahanan pangan laut Indonesia. Jika nelayan tidak lagi mampu bertahan, penurunan produksi domestik bisa membuat Indonesia semakin bergantung pada impor.

Ketidakadilan Perdagangan dan Infant Industry

Fenomena ini sejalan dengan konsep Terms of Trade (TOT) dalam ekonomi internasional, di mana negara berkembang seperti Indonesia berada pada posisi yang tidak menguntungkan karena harus membeli produk impor dengan harga murah (tarif 0%) tetapi menjual ke negara maju dengan harga yang terbebani tarif tinggi (19%).

Selain itu, teori Infant Industry Argument menegaskan bahwa industri lokal yang masih berkembang memerlukan perlindungan tarif untuk bisa bersaing. Jika proteksi ini dicabut secara sepihak tanpa adanya resiprokal dari negara mitra, maka industri lokal akan kesulitan bertahan.

Strategi Perlindungan Nelayan dan Industri Lokal

Untuk memastikan keberlangsungan sektor perikanan, Indonesia harus segera mengambil langkah strategis, yaitu pertama terus negosiasi perjanjian resiprokal dengan USA. Pemerintah perlu terus menuntut penghapusan atau penurunan tarif 19% yang dikenakan USA terhadap produk perikanan Indonesia. Negosiasi bilateral atau multilateral dapat menjadi solusi untuk menciptakan perdagangan yang lebih adil.

Kedua, penerapan safeguard dan kuota impor. Jika USA menolak membuka pasar, Indonesia harus mempertimbangkan penerapan safeguard tariff atau memperketat kuota impor untuk melindungi sektor perikanan domestik dari serbuan produk USA.

Ketiga, modernisasi dan hilirisasi industri perikanan. Investasi dalam teknologi penangkapan ramah lingkungan dan fasilitas pengolahan berstandar internasional sangat penting agar produk Indonesia bisa bersaing secara global.

Keempat, diversifikasi pasar ekspor. Mengurangi ketergantungan pada pasar USA dengan memperluas akses ke pasar lain seperti Uni Eropa, Jepang, Timur Tengah, dan Afrika melalui diplomasi ekonomi yang agresif.

Kelima, program perlindungan nelayan. Subsidi terarah untuk nelayan kecil, pelatihan peningkatan kualitas produk, serta akses mudah ke pembiayaan mikro akan membantu nelayan bertransformasi menjadi pelaku usaha yang lebih tangguh.

Keenam, memperkuat distribusi pasar dalam negeri, jaringan rantai dingin produk perikanan perlu terus diperbanyak agar produk perikanan dapat terdistribusi ke pasar-pasar di dalam negeri.

Dus, kebijakan tarif 0% untuk produk perikanan USA di Indonesia, jika tidak diimbangi dengan akses pasar yang adil untuk produk Indonesia di USA, akan menjadi ancaman serius bagi nelayan lokal dan industri perikanan nasional. Saatnya pemerintah mengambil langkah tegas untuk melindungi nelayan dan memastikan Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk asing, tetapi juga pemain utama di pasar perikanan global.

   Send article as PDF   

Anda mungkin juga menyukai:

error: Content is protected !!