5 Juni : Hari Internasional Melawan IUUF
Oleh : Suhana
Perikanan merupakan salah satu sektor yang memiliki potensi menyumbang devisa negara cukup tinggi. Berdasarkan analisis penulis, surplus neraca perdagangan komoditas perikanan akan semakin tinggi apabila aparat penjaga lalulintas perdagangan ikan dapat terus meningkatkan kinerja pengawasanya. Analisis penulis (2018) mensinyalir masih banyak komoditas perikanan yang diekspor lolos dari pengawasan aparat dilapangan. Hal inilah yang ingin penulis sampaikan dalam tulisan singkat ini sebagai upaya memperingati hari internasional melawan IUUF yang jatuh pada hari ini, Selasa 5 Juni 2018.
Mendeteksi Ekspor-Impor Ikan Illegal
Jeffrey R. Vincent (2004) melalui working papernya berjudul “Detecting Illegal Trade Practices By Analyzing Discrepancies In Forest Products Trade Statistics” yang dipublis di World Bank Policy Research memberikan metode bagaimana mendeteksi perdagangan illegal berdasarkan data statistik perdagangan komoditas.
Jeffrey R. Vincent (2004) mengamatinya berdasarkan perbedaan volume impor yang dilaporkan oleh negara pengimpor dan volume ekspor yang dilaporkan oleh negara pengekspor untuk komoditas yang sama. Volume Impor atau ekspor yang dilaporkan dapat berbeda dengan impor atau impor yang aktual karena dua alasan, yaitu kesalahan pengukuran dan tidak dilaporkan. Impor atau ekspor yang tidak dilaporkan merupakan tindakan illegal yang disengaja.
Volume impor yang dilaporkan dengan ekspor yang dilaporkan dapat dipilah menjadi tiga komponen, yaitu Pertama, perbedaan dalam arus perdagangan aktual. Impor aktual dapat berbeda dari ekspor aktual hanya jika pengiriman tidak sampai (misalnya, kapal dialihkan selama pelayaran atau muatannya hilang dilaut) atau jika waktu pengiriman menyebabkan pengiriman tiba dinegara pengimpor pada tahun kalender berikutnya. Jika kiriman tidak sampai sama sekali, maka ada perbedaan waktu satu kali yang negatif, yaitu pada tahun produk tersebut dikirim. Jika kiriman tersebut tiba tapi tidak sampai tahun kalender berikutnya, maka ada perbedaan negatif pada tahun produk tersebut diekspor dan perbedaan positif pada tahun berikutnya ketika produk tersebut diimpor.
Kedua, perbedaan karena kesalahan pengukuran. Dua faktor yang mempengaruhi, yaitu (1) proses pencatatan data oleh staf pencatatan; dan (2) pengecualian arus perdagangan yang dilaporkan kurang dari 100 m3.
Ketiga, perbedaan karena impor atau ekspor yang tidak dilaporkan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa perusahaan melaporkan jumlah yang mereka impor atau ekspor, apakah dengan memalsukan bentuk bea cukai atau dengan menghindari otoritas bea cukai sama sekali, ketika melakukannya memungkinkan mereka menghindari peraturan pemerintah yang mahal. Tarif impor, pajak ekspor dan hambatan non tarif adalah contoh yang jelas. Perusahaan yang terlibat dalam pencurian ikan, seperti transhipment ditengah laut, mungkin juga melaporkan ekspor/impor untuk menghindari deteksi aparat.
Perusahaan menghadapi kemungkinan tertangkap jika mereka melaporkan jumlah yang diperdagangkan dan jika mereka tertangkap, mereka mendapat penalti (misalnya denda/pencabutan izin). Probalitas (peluang) tertangkap diasumsikan lebih tinggi jika : (i) mereka melaporkan lebih banyak; dan (ii) negara yang mereka ekspor atau impor memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa bahwa ketidaksesuaian karena impor dan ekspor yang tidak dilaporkan merupakan fungsi dari harga impor dan ekspor, bea masuk dan ekspor, denda atas impor dan ekspor yang tidak dilaporkan dan kualitas pemerintahan di negara-negara pengekspor dan pengimpor.
Berdasarkan perbedaan volume impor dan ekspor tersebut Jeffrey R. Vincent (2004) menyampaikan bahwa : (1) perbedaan negatif mengisyaratkan bahwa kegiatan illegal lebih besar di negara pengimpor (impor dilaporkan kurang daripada ekspor); (2) perbedaan positif mengisyaratkan bahwa kegiatan illegal lebih besar di negara pengekspor (ekspor yang dilaporkan kurang daripada impor).
Namun demikian, khusus di Indonesia, apabila perbedaanya tidak lebih dari 5 % masih dapat ditolelir. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan RI No 20 Tahun 2007 tentang tindakan karantina untuk pemasukan media pembawa hama dan penyakit ikan karantina dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam wilayah Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa “Untuk keperluan sampel dan / atau cadangan dalam hal terjadi kematian atau kerusakan pada media pembawa, pemilik dapat memasukan media pembawa melebihi jumlah yang tercantum dalam dokumen, sebanyak-banyaknya sebesar 5 % (lima prosen) (Pasal 9 ayat (1))”. Atas dasar tersebut apabila perbedaannya tidak lebih dari 5 % maka dianggap tidak ada dugaan perdagangan komoditas perikanan secara illegal.
Dugaan Ekspor Illegal Komoditas Tuna Beku
Berdasarkan data UN-Comtrade (2018) terlihat bahwa dalam periode 2012-2017 perbedaan volume impor komoditas TTC Beku dunia dari Indonesia dan ekspor komoditas TTC Indonesia ke dunia bernilai positif (+), artinya bahwa importir melaporkan impor komoditas TTC beku lebih besar daripada yang dilaporkan di Indonesia. Artinya kegiatan perdagangan illegal komoditas TTC beku lebih besar terjadi di negara Indonesia. Namun demikian terlihat bahwa sejak tahun 2014 volume ekspor TTC Indonesia yang tidak tercatat terus menurun. Secara detail perbedaan volume impor dan ekspor TTC Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Berdasarkan hasil analisis (2018) terlihat bahwa pada tahun 2016 terdapat 21 negara yang perbedaan impor dan ekspor ikan TTC bernilai positif (+), dan tujuh negara diantaranya bernilai +1. Artinya bahwa aktivitas ekspor TTC Indonesia ke tujuh negara tersebut kuat dugaan dilakukan secara illegal. Ketujuh negara tersebut adalah Canada, Bahrain, Dominica, Fiji, Honduras, Namibia dan Poland. Secara lengkap 21 negara yang perbedaan impor dan ekspor ikan TTC bernilai positif (+) dapat dilihat pada Tabel 2.

Dugaan Impor Illegal Patin
Sementara itu untuk komoditas Patin/Dori, dalam periode 2013-2016 Nilai perbedaan Impor Patin Indonesia dan ekspor patin dunia ke Indonesia adalah -1, artinya eksportir melaporkan arus perdagangan komoditas ikan Patin ke Indonesia, akan tetapi Indonesia sebagai importir tidak melaporkan adanya aktivitas impor ikan Patin (Dori). Atau dengan kata lain ikan Patin (Dori) impor yang ada di pasaran Indonesia selama ini di duga kuat merupakan Patin Illegal (Tabel 3).

Berdasarkan data UN-Comtrade (2018) terlihat bahwa Singapore merupakan negara utama pengekspor ikan Patin/Dori ke Indonesia. Dalam periode 2013-2016 sekitar 90,60 % ikan Patin yang masuk ke Indonesia secara illegal dipasok dari Singapore, sekitar 5,92 dari Viet Nam dan sekitar 3,48 % dari Malaysia (Gambar 4).

Berdasarkan kedua kasus diatas terlihat bahwa potensi perdagangan illegal komoditas perikanan masih cukup tinggi. Oleh sebab itu dalam rangka memperingati hari internasinal melawan IUUF ini dan guna mencegah semakin meningkatnya perdagangan internasional komoditas perikanan Indonesia secara illegal, diperlukan langkah-langkah strategis, seperti (1) Pengetatan lalulintas ikan ekspor / Impor dari dan ke Indonesia; (2) Peningkatan kerjasama pengawasan lalulintas ekspor/impor ikan Indonesia antara BKIPM-KP, Bea Cukai, dan Polisi Air, dan aparat terkait; (3) Peningkatan kepatuhan para pelaku perdagangan ikan Indonesia dalam melaporkan aktivitas perdagangannya. Semoga kedepan perdagangan komoditas perikanan Indonesia semakin legal, regulated and reported. Sehingga pendapatan sektor perikanan dapat terus ditingkatkan. ***