Kebijakan penangkapan ikan terukur diminta untuk ditunda. Hal itu karena kebijakan baru tersebut dinilai sejumlah kalangan belum siap diterapkan dan menuai polemik publik.

Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI

JAKARTA, KOMPAS — Menjelang berlakunya kebijakan Penangkapan Ikan Terukur mulai Januari 2024, polemik kebijakan masih mencuat di kalangan nelayan dan pelaku usaha perikanan. Kegamangan muncul, antara lain, karena sosialisasi publik yang dinilai belum optimal, kesiapan infrastruktur yang minim dan kekhawatiran privatisasi laut oleh oligarki industri perikanan skala besar.

Sebelumnya, pemberlakuan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota beberapa kali tertunda. Kebijakan itu mulai digulirkan pada akhir 2021 dan semula akan diterapkan pada 2022.

Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota membagi wilayah penangkapan ikan ke dalam enam zona. Kuota penangkapan ikan terbagi atas kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial. Kuota industri, antara lain, membuka kesempatan bagi pelaku usaha dalam negeri dan pemodal asing untuk usaha perikanan tangkap.

Hasil jajak pendapat ”Persepsi Publik terhadap Penangkapan Ikan Terukur” yang digagas Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Ocean Solutions Indonesia, dan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta menyimpulkan, penangkapan ikan terukur (PIT) belum siap untuk dilaksanakan mulai tahun 2024 pada 171 pelabuhan di Indonesia. Muncul usulan agar penerapan kebijakan itu ditunda.

Survei dibagikan dalam jaringan pada 11 Oktober- 4 November 2023 terhadap 202 responden di 14 provinsi. Mayoritas responden merupakan pelaku usaha perikanan (28 persen), awak kapal perikanan (20 persen), dan nelayan skala kecil (19 persen) dengan wilayah tangkapan didominasi di Sulawesi Utara (23,88 persen), Maluku (15,42 persen), dan Sulawesi Tenggara (12,99 persen).

Sebaran Responden

Felicia Nugroho, Research Manager DFW Indonesia, mengemukakan, persepsi masyarakat menggambarkan keraguan terhadap kebijakan PIT karena dipandang menimbulkan kerugian bagi nelayan kecil dan tradisional. Sementara itu, infrastruktur, kesiapan sumber daya manusia, dan pemahaman terkait pelaksanaan PIT dinilai minim.

Pengetahuan pelaku usaha perikanan yang masih minim terhadap PIT menunjukkan belum efektifnya sosialisasi pemerintah. Sejumlah 48 persen dari jumlah responden mengungkap telah menerima sosialisasi, sebaliknya 24,2 persen responden tidak mendapatkan sosialisasi. Adapun 36 persen responden menyatakan tidak ada manfaat dari kebijakan PIT, 13 persen menilai PIT sebatas pemerataan kuota tangkapan, sedangkan 10 persen responden belum mengetahui kebijakan tersebut.

Sebanyak 36 persen responden menyatakan tidak ada manfaat dari kebijakan PIT, 13 persen menilai PIT sebatas pemerataan kuota tangkapan, sedangkan 10 persen responden belum mengetahui kebijakan tersebut.

”Sosialisasi kebijakan seharusnya tidak diberikan ketika kebijakan sudah disusun dan menunggu implementasi. Sosialisasi ke pelaku usaha perikanan, terutama nelayan kecil yang sangat terdampak kebijakan PIT, seharusnya sejak awal kebijakan dibuat, sehingga semua memahami dan ikut serta dalam perumusan kebijakan tersebut,” kata Felicia, dalam konferensi pers, secara hibrida, Rabu (22/11/2023).

Felicia menambahkan, arah kebijakan PIT untuk menjaga keberlangsungan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya ikan menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan itu, antara lain, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dan fasilitas penunjang, seperti timbangan yang belum memenuhi standar, serta metode pencatatan hasil tangkapan dan akses sistem pelaporan mandiri (e-PIT) yang belum optimal.

Sejumlah 39 persen responden telah mengakses e-PIT, sedangkan 34 persen tidak mengetahui e-PIT dan 27 persen belum pernah mengakses e-PIT. Sementara itu, keterbatasan fasilitas pelabuhan berpotensi menyebabkan bongkar muat ikan semakin lama sehingga menurunkan kualitas ikan dan menambah beban biaya pelaku usaha.

Potensi konflik

Kekhawatiran juga muncul terkait potensi konflik nelayan kecil dengan nelayan perusahaan besar dalam pemanfaatan kuota penangkapan ikan. Nelayan tradisional dibawah 12 mil mendapatkan kuota lebih sedikit dibandingkan perusahaan. Kebijakan PIT yang tidak dilaksanakan transparan dan akuntabel memicu kuota penangkapan ikan dikuasai segelintir pengusaha atau pemodal besar kapal perikanan sehingga memunculkan oligarki pemanfaatan laut. Di disamping itu, perburuan rente.

”Diperlukan perlindungan nelayan skala kecil terhadap kapal milik pemodal asing atau investor skala besar perikanan tangkap. Investor skala besar dengan kuota tangkapan ikan lebih besar dapat merugikan lingkungan lebih besar lagi dan bertentangan dengan upaya keberlanjutan sumber daya ikan,” ujar Felicia.

https://i0.wp.com/cdn-assetd.kompas.id/DqDFFz1i_xShU-NAlWd-90rXPNw=/1024x2005/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F01%2Fee9b37f9-3691-45ea-8b0f-260d9b01ac71_png.png?resize=780%2C1527&ssl=1

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta Suhana menambahkan, kebijakan PIT mengandung sejumlah aturan baru yang wajib dijelaskan kepada publik. Ia menyoroti pembagian wilayah tangkapan ikan ke dalam enam zona penangkapan yang tidak diatur sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Selain itu, pengalihan kuota industri dan nelayan lokal yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2023 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.

”Kuota (penangkapan ikan) yang bisa dialihkan ini berbahaya karena berpotensi menimbulkan calo-calo jual beli kuota dan kepemilikan kuota penangkapan ikan terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu dan pemodal besar yang bisa membeli kuota,” kata Suhana.

Sementara itu, pelaporan mandiri lewat e-PIT di perikanan Indonesia tergolong baru dan membutuhkan alat kontrol yang memadai. Muncul indikasi sejumlah nelayan keberatan untuk melaporkan hasil tangkapan ikan karena mempersoalkan instrumen penghitungan pungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang membebani nelayan.

”Pemerintah belum punya tahapan komprehensif agar pelaporan mandiri hasil tangkapan ikan berjalan baik. Ini tidak bisa mengandalkan laporan mandiri nelayan saja, tetapi pengecekan berulang terkait laporan nelayan,” ujarnya.

https://i0.wp.com/cdn-assetd.kompas.id/3jFi6nE-3_miH4xnD9Ryy185dDg=/1024x806/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F13%2Fa25f064c-539e-464e-80a1-eb1d8dd537e9_png.png?resize=780%2C614&ssl=1

Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Jakarta Mohammad Bilahmar mengemukakan, pemerintah harus mengutamakan pemberian kuota tangkapan bagi kapal-kapal perikanan yang sudah beroperasi. Dengan total produksi perikanan tangkap nasional rata-rata 6 juta ton per tahun, kuota penangkapan ikan bagi pelaku usaha yang sudah ada harus minimal 6 juta ton guna melindungi pelaku usaha perikanan nasional.

Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furkon mengemukakan, pemerintah tengah menuntaskan tata kelola musim penangkapan ikan tahun 2023 dan evaluasi perizinan. Adapun perizinan berusaha dan sertifikat kuota tangkapan untuk musim penangkapan tahun 2024 akan diproses mulai Desember 2023.

Ukon menambahkan, basis perikanan tangkap adalah eksploitasi sumber daya alam milik bersama dan dikelola negara untuk memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat. ”Evaluasi perizinan dilakukan terkait aspek keberlanjutan serta kepatuhan pelaku usaha yang sudah diberi izin,” ujarnya.

Editor:
AUFRIDA WISMI WARASTRI
   Send article as PDF   

Anda mungkin juga menyukai:

error: Content is protected !!