Nelayan perempuan pesisir Pangandaran sedang menarik jaring. Mereka tetap bertahan dalam kondisi resesi ekonomi perikanan (Photo : Suhana 2020)

Oleh : Suhana

Nilai tukar nelayan (NTN) dan Nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi) di sebagian besar provinsi tahun 2020 mengalami defisit. Data BPS (2021) menunjukan bahwa 55,88% provinsi di Indonesia pada tahun 2020 mengalami defisit nilai tukar nelayan (NTN). Hal ini ditunjukan dengan jumlah provinsi yang memiliki nilai NTN dibawah 100, yaitu mencapai 19 provinsi.

Data BPS (2021) menunjukan kesembilanbelas provinsi yang mengalami defisit (NTN<100) tersebut adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bengkulu, DKI Jakarta, Gorontalo, Papua Barat, Jawa Timur, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Aceh, Sumatera BArat, Sulawesi Tengah, Banten, Sulawesi BArat, Bali, Jawa Barat, Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.

Gambar 1. Nilai Tukar Nelayan (NTN) Menurut Provinsi Tahun 2020 (Sumber : BPS 2021)

Sementara itu data BPS (2021) menunjukan bahwa sekitar 58,82% provinsi mengalami defisit nilai tukar pembudidaya ikan (NTPi). Hal ini ditunjukan dengan jumlah provinsi yang memiliki nilai NTPi dibawah 100, yaitu mencapai 20 provinsi. Data BPS (2021) menunjukan keduapuluh provinsi yang mengalami defisit (NTN<100) tersebut adalah Provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Riau, Sumatera Utara, Aceh, Kepulauan BAngka Belitung, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Maluku, BAnten, Gorontalo, Papua BArat, Jambi, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara dan Kalimantan Tengah.

Gambar 2. Nilai Tukar Pembudiaya Ikan (NTPi) Menurut Provinsi Tahun 2020 (Sumber : BPS 2021)

Secara teori ketika NTN dan NTPi bernilai < dari 100 maka nelayan dan pembudidaya ikan berada dalam kondisi kritis. Hal ini disebabkan pendapatan mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengeluarannya, baik untuk kebutuhan rumah tangga atau ongkos produksi.

Atau dengan kata lain pembudidaya ikan atau nelayan mengalami defisit. Kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya. Pendapatan pembudidaya ikan atau nelayan turun, lebih kecil dari pengeluarannya.

Paradoks Perikanan : Ekspor perikanan naik, Nilai Tukar Perikanan Rendah

Kinerja nilai ekspor perikanan di masa covid ternyata bisa lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun beberapa produk perikanan, khususnya produk perikanan hidup yang diekspor ke China mengalami penurunan di tahun 2020 ini. Akan tetapi secara total nilai ekspor perikanan mengalami peningkatan. Total nilai ekspor perikanan Indonesia periode Januari-September 2020 mencapai USD 3,48 Milyar atau naik sebesar 7,96% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2019 (BPS 2020).

Namun demikian disisi lain menunjukkan bahwa Nilai Tukar Perikanan di sebagian besar provinsi pada tahun 2020 ini mengalami defisit. Hal ini menunjukan bahwa membaiknya kinerja ekspor ternyata belum berkorelasi positip terhadap peningkatan daya beli keluarga nelayan dan pembudidaya ikan.

Pertanyaannya adalah kenapa hal ini terjadi? Apakah produksi ikan para nelayan dan pembudidaya ikan kecil tidak terserap oleh industri dan para pelaku ekspor? Hal ini merupakan PR besar bagi kita sebagai insan perikanan, baik pemerintah, peneliti dan masyarakat perikanan lainnya. Pasti ada masalah besar yang menyebabkan tidak berkorelasi positip dari peningkatan ekspor dengan daya beli nelayan dan pembudidaya ikan. Seharusnya peningkatan ekspor perikanan dapat berkorelasi positip terhadap peningkatan daya beli masyarakat nelayan dan pembudidaya ikan. Sehingga kenaikan kinerja ekspor dapat dinikmati oleh para nelayan melalui peningkatan harga ikan di tingkat produsen.

Oleh sebab itu pemerintah perlu mengkaji secara detail terkait hal tersebut agar dapat merumuskan kebijakan yang lebih berpihak pada nelayan dan pembudidaya ikan kecil. Selain itu juga pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu terus berupaya membina para nelayan dan pembudidaya ikan agar dapat menjaga mutu hasil tangkapannya sejak dari atas perahu atau tambak ikan/udang. Hal ini dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya ikan memiliki harga yang tinggi dan meningkatkan daya serap produk ikan Indonesia di pasar internasional. Ingat bahwa mutu produk perikanan sangat tergantung sejak penanganan ikan di atas perahu nelayan atau tambak pembudidaya ikan.

Berdasarkan hasil audit internasional terhadap produk perikanan Indonesia menunjukan bahwa jaminan mutu hulu-hilir produk perikanan tangkap, budidaya dan pengolahan ikan masih dinyatakan belum bisa connecting 100%. Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta harus dapat menyambungkan jaminan mutu produk perikanan dari hulu sampai hilir. Perikanan tangkap dan Perikanan budidaya memiliki tanggungjawab dalam menjaga mutu melalui tata cara penanganan ikan di atas kapal/perahu dan cara budidaya ikan yang baik. Dampak dari belum terintegrasinya jaminan mutu antara hulu sampai hilir, Uni Eropa sampai saat ini belum memberikan keleluasaan untuk Indonesia menambahkan izin ekspor.

Oleh sebab itu Menteri Kelautan dan Perikanan perlu menyusun keputusan Menteri kelautan dan perikanan terkait integrasi penanganan mutu produk perikanan dari hulu sampai hilir. Setiap eselon 1 di bagian hulu dan hilir diwajibkan untuk memiliki tugas dan fungsi dalam pembinaan mutu hasil produksi perikanan. Dengan adanya aturan tersebut diharapkan daya serap produk perikanan Indonesia di pasar ekspor akan semakin meningkat. Selain itu juga penetrasi pasar produk perikanan Indonesia akan semakin meningkat, seiring dengan terus membaiknya mutu produk perikanan.

Dengan adanya berbagai upaya memperbaiki mutu ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya ikan diharapkan tidak terjadi lagi paradoks perikanan. Semoga.

   Send article as PDF   

Anda mungkin juga menyukai:

error: Content is protected !!