Oleh : Suhana
Upaya perluasan industri perikanan seringkali bertumpu pada wacana peluang potensi pertumbuhan ekonomi yang belum tergali. Para pegiat perikanan di Indonesia sering menyebutnya dengan istilah membangunkan “Raksasa yang sedang tidur” (the sleeping giant).
Wacana ini juga mendasari konsep yang lebih umum dari Ekonomi Biru di mana laut merupakan garda depan pembangunan ekonomi. Budidaya laut (marine aquaculture) dipandang sebagai bagian penting dari Ekonomi Biru, tetapi wacana saat ini mengabaikan bukti bahwa efek tetesan ke bawah (trickle-down effects) yang langsung – dari pertumbuhan ekonomi agregat di tingkat nasional hingga manfaat holistik di tingkat masyarakat – belum terlihat (Campbell et al 2021).
Teori tetesan ke bawah (the trickle down theory) dibangun dengan bercermin pada sejarah ekonomi Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pertumbuhan ekonomi yang mantap, yang ditandai oleh Revolusi Industri di Inggris pada abad 18 telah memberikan keuntungan yang luar biasa bagi para pemilik modal. Keuntungan ini selanjutnya meningkatkan pula keuntungan kelas pekerja yang tumbuh dengan cepat. Dengan kata lain, telah terjadi perembesan kesejahteraan dari kelas atas ke kelas bawah melalui industrialisasi (Ismawan 1999).
Ismawan (1999) menyatakan bahwa teori tetesan ke bahwa ternyata tidak berlaku di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena golongan kaya di negara berkembang lebih banyak membelanjakan uangnya untuk barang dan jasa impor dari luar negeri. Sementara di Inggris dan di Eropa barat, golongan kaya adalah golongan penabung dan investor bagi ekonomi nasionalnya.
Di Indonesia lain lagi, baru-baru ini harian kompas melaporkan bahwa pada tahun 2020 perbankkan nasional mencatatakan pembelian surat berharga negara atau SBN) terbesar dalam sejarah RI, yaitu mencapai Rp. 753,4 Triliun. Sehingga total kepemilikan SBN oleh perbankkan pada akhir 2020 mencapai Rp. 1.375,6 triliun. Tahun 2021 BI masih merencanakan akan melakukan ekspansi moneter dengan membeli SBN di pasar perdana sesuai mekanisme pasar.
Artinya uang yang ada di perbankkan akan lebih banyak terserap oleh SBN dibandingkan untuk pengembangan sektor riil. Sektor rill, termasuk sektor perikanan akan semakin sulit untuk mendapatkan kemudahan kredit dalam pengembangan usahanya. Akibatnya dapat diperkirakan bahwa industrialisasi perikanan akan mengalami kendala permodalan, karena dana yang ada di perbankkan lebih tersedot untuk membeli SBN.
Komunitas Biru dan Kesejahteraan
Dalam tinjauan jurnal edisi ini, penulis mencoba mengulas artikel karya Campbell et al 2021. yang berjudul “From Blue Economy to Blue Communities: reorienting aquaculture expansion for community wellbeing”. Arikel ini dimuat pada jurnal Marine Policy Volume 124.
Campbell et al (2021) dalam jurnal terbarunya menyatakan bahwa investasi berpeluang untuk menghasilkan perluasan budidaya laut dan pertumbuhan ekonomi agregat (Gambar 1 ). Hal ini, pada gilirannya, akan meningkatkan mata pencaharian masyarakat pesisir, melalui penciptaan lapangan kerja, stimulus ekonomi, peningkatan infrastruktur, dan keamanan makanan.
Konflik antara akuakultur dan penggunaan sumber daya laut yang sudah ada kadang-kadang diakui, tetapi ini sering digambarkan secara sempit sebagai tata ruang, dan perencanaan tata ruang laut ditawarkan sebagai sarana untuk menyelesaikannya. Bahkan potensi konflik dengan penangkapan ikan komersial ditampilkan kembali sebagai peluang, karena nelayan dalam komunitas yang secara historis bergantung pada penurunan perikanan tangkap di alam dapat menemukan pekerjaan baru dalam budidaya, sekaligus menyediakan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan untuk sektor makanan berbasis laut yang tumbuh dan terdiversifikasi. Namun, wacana tentang peluang tidak banyak bicara tentang mekanisme spesifik yang dengannya pertumbuhan ekonomi agregat akan diterjemahkan ke dalam manfaat ekonomi yang berarti secara lokal (Campbell et al (2021)).
Hal ini sebagian besar tidak ada pada proses pengambilan keputusan terkait yang mungkin memandu ekspansi budidaya untuk memberikan manfaat tersebut, terutama dengan cara yang memperhitungkan keadilan dan kesetaraan dalam kualitas dan distribusi manfaat. Meskipun perencanaan tata ruang ditawarkan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik, bagaimana cara melakukannya (dan menurut siapa) tidak ditangani. Secara keseluruhan, “ implikasi sosial-ekonomi lokal dari pengembangan budidaya ikan mengambil alih posisi perdagangan, motivasi ekologis dan teknis (Campbell et al (2021)).
Campbell et al (2021) menyatakan bahwa saat ini perlu ada pergeseran fokus ke kesejahteraan masyarakat guna mewujudkan manfaat potensial dari perluasan usaha perikanan, khususnya budidaya laut. Budidaya laut menggambarkan kebutuhan untuk mengarahkan kembali Ekonomi Biru ke Komunitas Biru, sebuah konsep yang mengacu pada pendekatan multidimensi kesejahteraan dengan latar utama faktor sosial, budaya, dan lingkungan di samping pertumbuhan ekonomi. Dengan memperhatikan tata kelola yang adil dan merata yang tertanam pada tempat dan konteksnya, budidaya perikanan dapat tumbuh dengan cara yang meningkatkan kesejahteraan di Komunitas Biru sambil mendukung pembangunan ekonomi yang lebih luas.
Komunitas Biru ditentukan oleh bagaimana produksi berbasis laut diterjemahkan ke dalam kesejahteraan komunitas pesisir dengan koneksi berbasis ruang dan sumber daya laut (Campbell et al 2021).
Kurangnya perhatian terhadap dampak berbasis tempat dan proses tata kelola khusus yang diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui budidaya laut dapat menyebabkan masalah kesenjangan kebijakan (Krause et al (2015)). Di AS misalnya, upaya masa lalu untuk memperluas budidaya perikanan yang juga menekankan peluang ekonomi, investasi, dan pertumbuhan biasanya menghasilkan kesuksesan yang beragam di seluruh negara bagian dan lanskap kebijakan yang tidak pasti di tingkat federal (Fairbanks 2019).
Secara lebih umum, penelitian di AS dan di tempat lain mempertanyakan asumsi bahwa manfaat ekonomi agregat akan mengalir ke masyarakat, dan menekankan pentingnya konteks ekonomi, politik, budaya, dan sosial lokal dalam menengahi apakah dampak ekspansi budidaya perikanan positif, negatif, atau campuran.
Pengembangan budidaya laut dapat gagal untuk meningkatkan pendapatan lokal dan ketahanan pangan / nutrisi, memicu konflik lokal, meminggirkan kepentingan sejarah masyarakat, mengalihkan mata pencaharian pesisir, menggantikan perikanan tangkap, dan memprivatisasi ruang laut untuk kepentingan non-lokal (dan semakin multinasional) korporasi (Morgan et al 2017). Dampak, positif atau negatif, dapat dialami secara berbeda di dalam dan di antara komunitas menurut jenis kelamin, kelas, dan karakteristik demografis lainnya (Morgan et al 2017). Khusus untuk nelayan, interaksi antara penangkapan ikan dan akuakultur dimediasi oleh hal-hal seperti jenis alat tangkap, perizinan, dan tingkat pengalaman (Knott et al 2017).
Perlawanan dan konflik lokal sering diabaikan oleh para pelaku budidaya laut, tetapi mereka dapat berakar pada sistem nilai inti berbasis tempat dan perhatian pada kesetaraan dan keadilan, termasuk dalam proses pengambilan keputusan dan pembagian manfaat dan beban dari pertumbuhan industri (D’Anna and G.D. Murray 2015). Bahkan dalam kasus di mana beberapa pendapatan lokal telah meningkat seiring dengan perkembangan akuakultur, kesejahteraan secara keseluruhan mungkin tidak dapat mengimbangi, dan kerentanan masyarakat dapat meningkat karena ketergantungan yang berlebihan pada sektor akuakultur (Outeiro and S. Villasante 2013). Meskipun para pendukung budidaya perikanan semakin menyadari kebutuhannya “ izin sosial ” untuk mengoperasikannya, konsep tersebut sering dimobilisasi oleh industri untuk mengatasi penolakan lokal terhadap budidaya (Mather and L. Fanning 2019), daripada melibatkan komunitas secara utuh.
Membingkai ekspansi budidaya laut (marine culture) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Antusiasme ekspansi budidaya laut saat ini mengalami peningkatan. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk lebih mengutamakan kesejahteraan komunitas – dan lebih umum lagi Komunitas Biru – agar dapat menghindari kegagalan teori tetesan kebawah seperti yang terjadi selama ini.
Campbell et al (2021) menyatakan bahwa kerangka kesejahteraan menyadari bahwa “apa yang penting bagi orang, komunitas, dan masyarakat ” sangat bervariasi. Jadi, inti dari komunitas biru (Blue Communities) adalah pendekatan tata kelola yang mempertimbangkan multidimensi dan menempatkan kekhususan kesejahteraan sejak awal dan memasukkannya ke dalam perencanaan seputar pertanyaan sentral: akuakultur untuk siapa dan oleh siapa?. Pada tingkat pemerintah Pusat atau daerah, ini berarti sengaja mengembangkan (kembali) pengaturan dan tujuan kelembagaan berdasarkan kebutuhan, keinginan, dan kapasitas lokal di tempat dan ruang di mana budidaya ikan diharapkan (atau direncanakan) untuk tumbuh untuk memastikan budidaya lebih baik berkembang secara adil dalam komunitas tersebut.
Hal Ini bisa melibatkan perubahan aturan, misalnya, membatasi ukuran pemakaian lahan budidaya, membatasi konsolidasi, berinvestasi dalam infrastruktur tepi pantai atau program komunitas, atau memasukkan persyaratan tempat tinggal.
Selama fase penentuan lokasi dan pra-perizinan untuk sewa akuakultur, upaya yang berfokus pada pemetaan potensi ekonomi dan ekologi untuk perluasan budidaya juga dapat mencakup penilaian kesesuaian dan nilai masyarakat, untuk meningkatkan kesesuaian sosial dari usaha budidaya milik individu dan kumulatif. Blue Communities memusatkan jenis aktivitas dan aturan ini sejak awal, sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan.
Sasaran ekonomi yang luas seperti penciptaan lapangan kerja atau perdagangan makanan laut akan menjadi penting di Komunitas Biru, tetapi tujuan tersebut akan menjadi bermakna dalam konteks, di mana perhatian terhadap lembaga, hubungan, kesetaraan, kesehatan ekosistem, ketahanan pangan lokal, dan komponen subjektif dari kesejahteraan berinteraksi.
Para ahli ekologi pun semakin menyadari pentingnya pembingkaian semacam itu dan menyerukan narasi baru tentang lautan untuk menekankan pentingnya hal tersebut dalam sistem lingkungan manusia. Wacana peluang – dalam Ekonomi Biru secara umum dan budidaya laut secara khusus – saat ini memprioritaskan jenis hasil tertentu di atas yang lain dan meminggirkan pelaku tertentu dalam forum pengambilan keputusan.
Dengan pendekatan komunitas biru diharapkan tata kelola akuakultur tidak hanya berfokus pada pertumbuhan ekonomi, akan tetapi juga pada peningkatan para pelaku usahanya, khususnya komunitas keluarga pembudidaya ikan. Komunitas biru diharapakan menjadi jawaban atas pertanyaan utama selama ini industrialisasi perikanan oleh siapa dan untuk siapa?
Kontak :
Dr. Suhana (Email : suhana@suhana.web.id)