Ilustrasi : Nelayan Kecil

Daya beli nelayan dan pembudidaya ikan sepanjang tahun 2020 sempat mengalami penurunan pada triwulan 2, namun kembali membaik pada triwulan 3 dan 4. Hal ini tercermin dari data Nilai Tukar Nelayan (NTN) dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPi). Nilai tukar nelayan (NTN) pada tahun 2020 rata-rata mencapai 100,22. Sementara itu nilai tukar Pembudidaya Ikan (NTPi) rata-rata mencapai 100,55. Nilai tukar usaha nelayan (NTUN) tahun 2020 mencapai 101,56 dan Nilai tukar usaha pembudidaya ikan (NTUPi) mencapai 100,92.

Data BPS (2021) menunjukkan bahwa pada triwulan 2 2020 rata-rata NTN hanya mencapai 98,80 atau turun sebesar 1,68% dibandingkan triwulan 1 2020. Artinya pengeluaran keluarga nelayan jauh lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya. Akibatnya daya beli keluarga nelayan mengalami penurunan. Namun demikian pada triwulan 3 dan 4 nilai tukar nelayan terus mengalami peningkatan seiring dengan membaiknya harga ikan di tingkat nelayan.

Nilai Tukar Nelayan (NTN) dan Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPi) Tahun 2020

Hal yang sama juga terjadi pada keluarga pembudidaya ikan. NTPi pada triwulan 2 2020 hanya mencapai 99,15 atau turun sebesar 1,58% dibandingkan triwulan 1 2020. Artinya pengeluaran keluarga pembudidaya ikan jauh lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya. Akibatnya daya beli keluarga pembudidaya ikan mengalami penurunan. Namun demikian pada triwulan 3 dan 4 2020 NTPi kembali mengalami peningkatan di atas 100. Artinya pada triwulan 3 dan 4 pendapatan keluarga pembudidaya ikan sudah kembali lebih tinggi dibanding dengan pengeluaran keluarga pembudidaya ikan, walaupun belum sesuai dengan yang diharapkan. Oleh sebab itu diharapkan pada tahun 2021 ini pendapatan pembudidaya ikan akan jauh lebih besar dibanding dengan pengeluarannya.

Belajar Dari Pandemi Covid-19

Catatan Suhana (2020) menjelaskan bahwa berdasarkan analisis media online sepanjang triwulan 1 2020 teridentifikasi bahwa penurunan harga ikan ditingkat produsen dipicu oleh penurunan permintaan ikan, baik ditingkat lokal maupun pasar ekspor akibat dari kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19. Selain itu juga mutu ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya ikan relatif masih sangat rendah, sehingga banyak yang belum terserap oleh pasar ekspor.

Secara teori kebijakan karantina wilayah (lockdown), pembatasan aktivitas restoran, tempat kumpul-kumpul baik di dalam negeri maupun di negara tujuan ekspor akan berdampak pada penurunan permintaan atas produk perikanan. Para pelaku ekspor, industri, dan para pedagang juga dengan sendirinya membatasi pembelian/penyerapan ikan hasil dari produksi nelayan atau pembudidaya ikan. Akibatnya ikan hasil produksi nelayan dan pembudidaya ikan banyak yang tidak terserap dan harganya menjadi anjlok.

Oleh sebab itu, pada masa pandemi Covid-19 pemerintah—khususnya Menteri Kelautan dan Perikanan— perlu terus mendorong kebijakan untuk meningkatkan daya serap ikan-ikan hasil produksi para nelayan dan pembudidaya ikan nasional. Hal ini dimaksudkan agar beban biaya produksi para nelayan dan pembudidaya ikan tidak membengkak. Misalnya mempercepat implementasi sistem resi gudang untuk sektor perikanan, sehingga ikan-ikan hasil produksi nelayan dan pembudidaya ikan bisa ditampung dulu di SRG dan dijual lagi ketika harga mulai kembali stabil.

Selain itu juga, Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu terus berupaya membina para nelayan dan pembudidaya ikan agar dapat menjaga mutu hasil tangkapannya sejak dari atas perahu atau tambak ikan/udang. Hal ini dimaksudkan agar ikan hasil tangkapan nelayan dan pembudidaya ikan memiliki harga yang tinggi dan meningkatkan daya serap produk ikan Indonesia di pasar internasional. Ingat bahwa mutu produk perikanan sangat tergantung sejak penanganan ikan di atas perahu nelayan atau tambak pembudidaya ikan.

 

Kontak :

Dr. Suhana (Email : suhana@suhana.web.id)

   Send article as PDF   

Anda mungkin juga menyukai:

error: Content is protected !!